Awalnya saya
tidak mengetahui adanya puncak bukit biru, setahu saya bukit biru hanya nama
tempat yang memang letaknya lebih tinggi dari kota tenggarong. Jika kita akan
menuju ke arah melak (Kutai Barat) atau Kota Bangun, bukit biru selalu kita
lewati. Ajakan sepupu untuk kesana awalnya membuat saya ragu sekaligus malas,
karena harus berangkat dini hari, jam 3! Infonya hanya sekitar 45 menit
pendakian, kenapa musti berangkat terlalu dini? Tawar menawar terjadi, saya
pengen jam 4 berangkat, namun sepupu saya terus bersikeras harus berangkat jam
3. Lebih cepat lebih baik, kataya. Setelah di pikir – pikir, betul juga. Siapa
tahu ada kendala di jalan, berangkat terlalu dini memang bagus, banyak waktu
spare.
Jam 3 dini
hari, saya sudah terbangun (selepas di bangunkan 2 kali oleh istri saya),
prepare barang dan minuman, manasin motor, dan nunggu teman – teman yang lain.
Setelah semua terkumpul baru kami berangkat ke bukit biru yang masih dalam
lingkup kota tenggarong. Dari simpang 3 bukit biru kami ke kanan, dan lurus
sedikit sekitar 100 m dan belok kiri melewati gang hotmix yang mulus (gak kayak
gang yang laen yang serupa, namun udah hancur dimana – mana, banyakan pasir ama
batu daripada semen) hingga masuk sekitar 10 menit kami sampai di parkiran yang
di sediakan sama masyarakat setempat (depan rumah orang). Perjalanan pun kami
lanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan yang masih bagus (gak ada
tambang, sawit maupun illegal logging) & jalan yang sedikit becek dan
licin. Awalnya gak masalah, namun selepas masuk lebih jauh, medan mulai
menanjak, beruntung ada akar pohon yang
panjang yang di jadikan tali untuk memudahkan pendakian yang di ikat di
beberapa pohon. Jaket yang tadinya digunakan untuk menahan dingin malah menjadi
basah karena keringat, napas mulai ngos – ngosan. Pelan – pelan saya dan istri
mendaki sambil bergandengan tangan supaya bisa lebih mudah menjaga keseimbangan
dan tidak mudah terjatuh antar sama lain. Gak sampai disitu makin dalam, tanjakan makin
terjal, kamipun musti hati – hati mendaki beberapa jalan yang berbatu, jika
terpeleset jurang terjal menanti & rekan – rekan dibelakang pun ikut kena
imbasnya. Akhirnya, selepas perjuangan yang menurut saya memang berat bagi saya
yang udah mulai uzur, bukan karena di makan rayap, tapi karena jarang olahraga
teratur, kami sampai di puncak, ternyata sudah banyak orang disitu. Hampir gak
ada tempat, sudah di penuhi dengan pengunjung yang lebih awal datang. Kami pun
terpaksa berdempetan dengan rombongan dari samarinda yang sudah memasang tenda
kecil dan beberapa berbaring menggunakan matras petualang. Kami hanya bisa
duduk, gak bisa rebahan, karena lereng begitu kecil dan miring di kedua
sisinya. Asem…! Beruntung saya selalu bawa cover bag merk yellow, murah, hanya
2000 an. Saya potong kedua sisinya sehingga bisa menjadi alas duduk sambil
senderan dengan istri saya, Alhamdulillah…
Pagi
menjelang, jam 6 pagi, sunrise yang ditunggu – tunggu belum menunjukan batang
dahinya, pemandangan alam bawah yang tadinya serba tertutup gelapnya malam kini
pelan – pelan terlihat. Terlihat kota tenggarong dengan belahan sungai mahakam
di sisi barat, hutan lebat dengan beberapa jalan tanah kecil yang membelah
sambil berkelok – kelok di sebelah timur. Semua orang mulai bertanya – tanya,
kapan yak sunrise nya muncul, kan udah pagi? Saya pun mencoba menghibur diri
sendiri, mungkin mataraharinya juga malas bangun hari ini, sehingga agak
terlambat menampakan diri (he he). Burung walet mulai bermunculan dan berterbangan
di dekat kami, gak hanya burung ternyata, kabut pun mulai menunjukan
eksistensinya. Akhirnya pemandangan jadi putih semua. Aku dik pa pa. Kami tetap
sabar menunggu di atas walau pemandangan menjadi mono colour. Namun setelah
angin mulai berembus, saya memutuskan untuk mengajak teman – teman untuk turun,
yang saya khawatirkan adalah hujan. Hujan akan membuat perjalanan turun semakin
menantang, tapi yang saya takutkan adalah bahayanya. Apalagi saat turun di
tebing yang berbatu dan curam, kalo sekedar tanah gak papa, paling plosotan,
gelincir, jatoh gak terlalu berbahaya di banding jatuh bebas di tebing yang
curam. Perkiraan saya betul adanya, baru saja mau turun, gerimis ikut turun,
perjalanan pun terhambat karena banyak kaum hawa juga yang ikut, otomatis
karena mereka baru – baru ini naik bukit, gear pun ala kadarnya, ada yang pake
sepatu kucing, sandalan, hingga sangat hati – hati saat melangkahkan kaki.
Namun sedikit demi sedikit akhirnya kami berhasil turun dengan selamat, namun
kalau masalah gelincir, gak usah di tanya, hampir semuanya mengalami.
Seruuuu….!
keren
ReplyDeleteBelum pernah kesana sih
ReplyDelete