Desa Muara Ritan
atau yang biasa di sebut desa ritan adalah salah satu desa yang berada dalam
wilayah kecamatan Tabang, kecamatan yang letak nya cukup jauh dari ibukota
Kabupaten Kutai Kartanegara yang terletak di Tenggarong. Desa ritan di diami
mayoritas oleh suku dayak kenyah yang dari sejarah asal mulanya berasal dari
sebuah dataran tinggi di penghulu anak sungai kayan yang ada di perbatasan
malaysia / serawak bernama iwan pada
sekitar tahun 1840 – 1877. Waktu itu kehidupan masih sangat primitif, semua
kebutuhan hidup di ambil dari hutan secara alami, baik pakaian maupun kebutuhan
hidup lainnya. Dari iwan kemudian pindah ke metun, di metun pelan – pelan
masyarakat mulai mengenal kain namun masih ada yang menggunakan kulit kayu,
Tahun 1897-1925 pindah lagi ke Selungai, kehidupan saat itu sangat rukun dan
generasi yang lahir di selungai lah yang membawa masyarakat pindah ke Belayan
dengan membawa seorang gadis bernama Mbang Isiu dan diserahkan ke Kerajaan
Modang. Tahun 1925-1945 berpindah lagi ke Jemahang, masyarakat dayak kenyah
lepok tukung sudah mengenal agama dan sekolah dengan adanya seorang pendeta dan
dua orang guru dengan hanya beberapa murid saja, yang sebenarnya adalah tentara
dan perantau yang melarikan diri akibat perang jepang dan belanda. Tahun
1945-1973 pindah ke Sungai Barang, saat itu masyarakat sudah mengenal yang
namanya “peselai” alias merantau. Mereka bekerja di malaysia dan mahakam supaya
dapat membeli keperluan hidup terutama garam. Di Sungai Barang juga ada seorang
pendeta dari belanda bernama Van de Graf, tenaga kesehatan dan tenaga pendidik
dengan segala keterbatasannya. Dan terakhir pada tahun 1971-1973 Berpindah ke
Belayan dengan berjalan kaki kurang lebih selama 6 bulan. Inilah gambaran
masyarakat dayak kenyah lepok tukung sekarang yang di tampil kan di umaq
belayan. Gambaran perpindahan bersejarah ini di abadikan di kampung saat ini,
yakni dengan batas – batas umaq supaya generasi muda tetap mengetahui asal usul
nenek moyangnya.
Penduduk di desa
muara ritan sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan seni budaya mereka,
toleransi dengan warga lain juga sangat tinggi, termasuk perbedaan agama.
Setiap tahun selalu diadakan acara adat, yakni “Menjelai”, acara yang diadakan
setiap bulan januari saat akan bercocok tanam. “Mencaq Undat”, acara yang
diadakan setiap bulan mei untuk merayakan keberhasilan panen. Mayoritas
penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan, sisanya ada yang bekerja di
swasta seperti karyawan di perusahaan sawit dan dagang.
Hari pertama, perjalanan kami mulai dari kota
masing - masing, yakni samarinda dan bakungan (kecamatan loa janan, kab kukar)
dan berkumpul di tenggarong dan dilanjutkan ke kota bangun, kecamatan kota bangun,
kukar, perjalanan yang biasanya hanya
memakan waktu sekitar 2 - 3 jam perjalanan kami tempuh dengan 4 jam perjalanan
karena saat memasuki senoni perjalanan kami terhambat hujan deras. Kami
bermalam di penginapan mukzizat. Penginapan ini memiliki 3 tipe kamar dengan
harga yang berbeda, 50 rb (single bed) 100 rb (double bed) plus kipas angin dan
tv, 150 rb (double bed) termasuk TV dan AC. Tamu juga di sediakan air panas dan
air minum di belakang penginapan.
Hari kedua,
perjalanan di lanjutkan menggunakan kapal fery menuju desa kahala dengan budget
100 rb per motor. Dari sana baru kami lanjutkan dengan sepeda motor ke arah
muara ritan dengan melewati banyak desa - desa dari beberapa kecamatan, yakni
kecamatan kenohan (desa kahala, tumbuan dan Tuana Tuha), kecamatan Kembang
Janggut (Bukit layang, hambau, kelekat, kembang janggut, loa sakoh, muai,
perdana, & pulau pinang) hingga kecamatan tabang (gunung sari, long lalang,
ritan lama & ritan baru). Di ritan lama kami menyeberang dengan kapal fery
ke ritan baru atau muara ritan. Perjalanan memakan waktu 6 jam.
Di muara ritan,
kami langsung ke lamin untuk melihat warga dan anak – anak sedang latihan
menari untuk pertunjukan nanti malam. Kami juga menyempatkan untuk bercengkrama
dengan warga sekitar yang sedang menggelar pasar tradisional. Saat sore hari
kami beruntung bertemu dengan Pak Mendo, seorang guru lokal dan juga panitia
acara, beserta Istri beliau Ibu Tiana. Selain mendapat info menarik tentang
acara kami juga ditawarkan untuk menginap di rumah beliau. Alhamdulillah…
Malam hari selepas
makan di warung, kami bergegas ke lamin untuk melihat acara tari – tarian. Rupanya
tidak hanya orang dewasa yang berpartispasi, melainkan dewasa dan anak – anak silih
berganti menyajikan tarian yang memukau. Jam 23.00 acara selesai kami kembali
ke rumah Pak Mendo dan selepas ngobrol – ngobrol sebentar kami istirahat, esok
hari akan menjadi perjalanan yang panjang dan melelahkan.
Hari ketiga, selepas
pamit perjalanan pulang kami tempuh dengan jalur yang berbeda. yakni melalui
beberapa kecamatan di kabupaten kutai timur, seperti, Kecamatan Muara Ancalong
(Senyiur, kelinjau ulu, kelinjau ilir & Muara Ancalong), Muara Bengkal
(Muara Bengkal ulu & muara bengkal ilir), dan selepas itu baru memasuki
kabupaten kutai kartanegara kembali, yakni di kecamatan muara kaman (menamang
kanan, menamang kiri & sedulang), Kecamatan sebulu (sebulu & giri
agung), & tenggarong seberang. Perjalanan ini cukup lama karena teman yang
ikut tidak terbiasa melalui jalan sawit dan tambang yang berkerikil, dan berdebu.
Otomatis kami hanya melaju dengan kecepatan 40 km/jam. Kami sampai di muara
bengkal saat sore menjelang senja, dan istirahat sebentar untuk makan malam dan
selepas itu perjalanan kami lanjutkan lagi. Terbatasnya jarak pandang membuat
kami musti ekstra hati – hati karena medan jalan yang cukup merepotkan dan ada
beberapa batang kayu yang banyak tergeletak di tengah jalan, kami melaju
sekitar 20-30 km/jam. Jam 2 dini hari kami akhirnya keluar dari jalan sawit dan
istirahat untuk tidur sebentar di jalan simpang antara sebulu dan muara kaman.
Jam 5 dini hari kami lanjutkan kembali dan akhirnya sampai di simpang 3
samarinda, tenggarong seberang dan tenggarong saat pukul 8 pagi.
Catatan :
Comments
Post a Comment