Trip dengan Thierry Boustens (France)

10 Agustus 2015, saya menemani salah satu tamu berkebangsaan Francis, Thierry Boustens yang antusias untuk melihat pesut mahakam. Sekitar jam 14.00 kami berangkat menggunakan sepeda motor Matic merk Honda Spacy. Dengan body yang agak rendah saat bermuatan 2 orang berbobot kurang lebih 160 kg kami mulai petualangan dari Desa Bakungan menuju Kota Bangun, Kutai Kartanegara. Kami mampir di Kilo 40 senoni untuk menyegarkan badan dan juga menghilangkan rasa pegal di pantat yang serasa mati rasa. Setelah perut terisi dengan segelas es kopi dan juga mie instan rebus kami lanjutkan perjalanan ke kota bangun. Kami sampai di kota bangun sekitar pukul 17:00 dan beristirahat sejenak.

Malam harinya, kami berjalan - jalan di sekitar kota bangun untuk mencari makan malam dan warung sate yang ada di hulu simpangan kota bangun menjadi pilihan utama. Perbincangan hangat meluncur santai sambil menyantap sate yang rasanya mak nyoss. Ini adalah pertama kalinya Thierry mengunjungi Kabupaten Kutai Kartanegara, sebelumnya dia berkunjung ke Taman Nasional Kutai di Sangatta, Kutai Timur untuk melihat Orang Utan. Selepas makan malam kami kembali ke Penginapan Mukjizat yang terkenal dengan pelayanannya yang memuaskan dan juga kebersihan, perlengkapan kamar yang saya kira lebih di atas rata - rata dan tentunya dengan harga yang terjangkau. Tidak itu saja, di penginapan ini anda bisa menikmati air minum segar dan juga air panas yang di lengkapi dengan teh, kopi, gula, gratis dan bebas mau minum berulang kali. Thierry memutuskan untuk bersantai di kamar, sedangkan saya menikmati suasana sungai mahakam di belakang penginapan yang ada di lantai atas sambil minum kopi panas. 23:00 kami beristirahat, karena besok kami harus bangun pagi - pagi guna melanjutkan perjalanan menggunakan ketinting untuk mencari pesut mahakam.

11 Agustus 2015 : Jam 7:00 kami mencari sarapan pagi, Thierry saya ajak menikmati sarapan khas suku kutai di kota bangun, Nasi Kuning dengan tambahan Ikan Ruan (Gabus) dan juga telur ayam rebus. Semuanya dilahap habis, sisa daun dan bungkusnya saja (Ya iyalah, siapa yang mau makan bungkusnya). Kami kembali ke penginapan dan berkemas - kemas check out, jam 8:00 kami ke jetty mukjizat untuk memulai petualangan dengan menggunakan ketinting. Darwis, salah satu joki yang berpengalaman untuk menemukan pesut mahakam, adalah salah satu joki langganan saya jika berniat untuk mencari pesut mahakam.

Kami mulai menelusuri sungai mahakam yang saat itu sedang surut karena musim kemarau, banyak burung - burung yang terlihat di sepanjang perjalanan kami, seperti Ganggang Bayam Belang, Elang Bondol, Pekaka Emas, Pecuk Ular Asia, Dara Laut, Pergam, Bangau Tong - Tong, Kuntul Besar & Kecil, Raja Udang Meninting, Layang - layang Batu, Kareo Padi, Kerak Kerbau, Serta Burung yang semakin langka, Kengkareng Perut Putih, dan masih banyak lagi. Tidak ketinggalan 2 jenis monyet, Monyet Ekor Panjang Dan Lutung.


Ganggang Bayam Belang

Kengkareng Perut Putih

Kondisi sisi sungai mahakam yang rusak parah akibat erosi

Pekaka Emas

Elang Bondol

Pecuk Ular Asia
Sekitar pukul 10:45 kami sampai di muara muntai, sebuah kecamatan yang unik dengan jembatan panjang yang terbuat dari kayu ulin membelah pemukiman. Kota Kecamatan ini termasuk dataran rendah sehingga jalan selalu terendam air, oleh karena itu jembatan kayu adalah salah satu solusi supaya masyarakat mudah beraktifitas. Rumah - rumah pun mengikuti ketinggian jembatan, bahkan ada yang lebih tinggi lagi, karena musim banjir tahun 2007 hampir semua rumah terendam karena banjir yang paling parah tersebut. Untuk berjaga - jaga, masyakat membuat rumahnya semakin tinggi untuk mencegah rumahnya terendam banjir.

Banyak nelayan yang memancing ikan di tengah sungai saat itu. Dengan menggunakan perahu kecil sekitar 10 - 15 nelayan memanfaatkan musim ikan Baung yang saat itu banyak mereka dapatkan dengan umpan hidup. Salah satu nelayan dengan malu - malu menunjukan hasil tangkapannya yang menurutnya masih berukuran kecil dengan size 1 kiloan. Ikan Baung sangat di minati karena harganya lumayan tinggi, yakni sekitar 15 ribu perkilo. Ikan ini juga sangat enak dengan hidangan apa pun, di bakar, di goreng, di campur dengan sup sayur / buah, maupun di Salai (Asapi). Per perahu hanya di muati 1 orang dengan alat pancing modern yang menggunakan stick dan reel.




Saat akan meninggalkan desa Muara Muntai, sekitar simpangan sungai menuju desa jantur, Darwis yang pertama kali melihat pesut mahakam. Kami segera putar arah dan mengikuti pesut mahakam yang langka itu dengan jarak aman (sekitar 30m) dengan posisi sejajar. Kami juga pertama - tama melihat pergerakan dan dimana mereka muncul lalu mencari posisi yang kami anggap tidak mengganggu arah pesut mahakam. Saat pertama kali ada sekitar 4 ekor pesut mahakam, namun semakin lama kami mengikuti pesut mahakam ternyata jumlah semakin banyak, kurang lebih 7 ekor terlihat muncul di lokasi yang berjauhan dan hampir bersamaan. Semua adalah pesut mahakam dewasa dan terlihat asyik bermain - main dengan individu lainnya, hal ini ditandai dengan terlihatnya sirip tangan mereka, artinya mereka berenang tidak dengan posisi umum, sesekali mereka berenang menyamping dan bersama - sama. Saya tidak menyia - nyiakan kesempatan untuk mendokumentasikan kemunculan pesut mahakam, dengan kamera DSLR 650D dan lensa Sigma 300mm saya berusaha mendokumentasikan kemunculan pesut mahakam sebanyak dan sebaik mungkin. Sirip punggung adalah objek utama dan sisanya saya mencoba peruntungan untuk mendapatkan foto utuh dari kepala pesut mahakam, namun tak semudah yang di bayangkan, perlu kesabaran, keahlian dan pengalaman untuk memperkirakan posisi kemunculan pesut mahakam berikutnya.

Kami terus mengikuti pesut mahakam hingga memasuki desa Kuyung dan memutuskan meninggalkan kawanan tersebut, tujuan berikutnya adalah, makan siang. Perut sudah keroncongan dan selain itu kami sudah merasa puas sudah menemukan pesut mahakam. Lagi pula masih ada waktu, sehingga kami bisa mengunjungi lokasi yang lain.


16:00 kami sampai di sungai pela dan masuk untuk melihat danau semayang yang sedang surut, kami juga berkesempatan melihat proses saat nelayan sedang memanen ikan dengan metode tangkap yang tradisional. Nelayan pada awalnya akan memasang ranting pohon yang sudah mati di sisi sungai dengan ketinggian air sekitar 1 - 1,5 meter. Ranting akan di pasang rapat dengan ukuran sekitar 3 x 3 meter dan akan di beri makanan berupa buah setiap hari selama kurang lebih 2 minggu. Saat merasa sudah banyak ikan yang berdiam di situ, nelayan akan memanen dengan memasang jaring di sekeliling alat tangkap tersebut, dan secara pelan - pelan membuat jaring semakin mengkerucut sehingga bisa dengan mudah di ambil dan di masukan ke wadah terapung lainnya. Beberapa ikan sungai mahakam seperti toman, udang, nila, baung, kalibere, ikan bini (putihan) berhasil didapat dengan berat keseluruhan sekitar 50 kiloan. Toman dan udang di pisahkan karena akan langsung di jual ke pengumpul maupun pembeli lokal. Sisanya akan di tampung untuk beberapa waktu di wadah terapung yang mirip keramba namun dengan bobot yang ringan, sehingga bisa dengan mudah di tarik menggunakan ketinting.






Selepas melihat aktifitas nelayan, sebelum memutuskan kembali ke kota bangun kami berfoto terlebih dahulu di Danau Semayang yang sedang kering. Danau Semayang terlihat luas dengan hamparan rumput sejauh mata memandang, sangat indah.








Di kota bangun kami kembali melanjutkan perjalanan ke Kedang Ipil, di sana kami akan bermalam dan akan mengunjungi salah satu objek wisata andalannya, air terjun kendua raya. Sekitar pukul 18:00 kami sampai di kedang ipil dan beristirahat di homestay Pak Lamri. Malam hari kami mengunjungi keluarga pak lamri yang meninggal dunia. Warga sangat antusias ketika melihat ada bule yang mengunjungi mereka. Terlihat banyak warga yang berkerumun di sekitar rumah duka sebagai bentuk turut berbela sungkawa. Uniknya di desa kedang ipil, warga akan terus berkerumun dan menemani keluarga yang berduka cita hingga pagi hari. Ada yang bermain kartu, membantu pekerjaan rumah dan tuan rumah pun di sibukkan dengan memasak untuk tamu yang jumlahnya ratusan orang. Kami asyik bercengkerama dengan warga saat itu, ternyata suasana duka tidak menyurutkan antusias mereka untuk menjamu tamu asing. Kami juga di persilahkan makan bersama mereka. Saat kantuk mulai menyerang, sekitar pukul 22:00 kami kembali ke homestay dan beristirahat.







Comments