Day 1 : Minggu, 8 Januari 2017
Jam
6.30 dari hotel Harris, kami menuju Pelabuhan Sungai Kunjang Samarinda. Kami
ikut kapal tujuan Long Bagun, Mira Farisma dengan harga tiket 150 rb untuk
sampai ke Melak. Kapal kebanyakan di isi bahan logistic yang nantinya akan di
bongkar di daerah hulu yang ada di sisi sungai mahakam. Kami mengambil posisi
di top deck yang dilengkapi dengan fasilitas kasur, bantal & kipas angin.
Banyak kapal yang bertambat namun tidak semua akan berangkat di hari yang sama,
biasanya ada 2 hingga 3 kapal yang akan berangkat. Ada yang tujuannya ke Long
Bagun (Kabupaten Mahakam Ulu) dan Melak. Saat berangkat satu persatu kapal yang
terikat di sisi kapal yang lain, mulai dilepas dan perlahan – lahan kapal yang
ada di sisi paling dekat dengan pelabuhan yang akan berangkat. Kami kebanyakan menghabiskan
waktu di top deck bagian depan kapal sambil melihat pemandangan di sepanjang
jalan, mulai dari samarinda hingga memasuki Kabupaten Kutai Kartanegara
(Kecamatan Loa Janan, Loa Kulu, Tenggarong, Sebulu, Senoni, Muara Kaman, Kota
Bangun & Muara Muntai) dan terakhir Kabupaten Kutai Barat.
Jam 9.35 Di Tenggarong Seberang saat kapal merapat di pelabuhan untuk mengambil penumpang, beberapa pedagang kaki lima mulai menaiki kapal untuk menjual dagangannya yang kebanyakan makanan (Nasi bungkus, buah) cemilan (snack, roti) air minum dan keperluan lainnya, lalu kembali keluar kapal saat kapal sedang bersiap berangkat.
Jam 12.00 siang kami ke
belakang kapal di deck bawah untuk makan siang, ada menu nasi campur, nasi sop,
mie instant hingga beberapa minuman panas & dingin, pokoknya lumayan
lengkap. Momen makan sambil melihat pemandangan sekitar memang beda dan memberi
kesan tersendiri. Harga makan & minuman berbeda di setiap kapal, di kapal
yang kami tumpangi, makan sekitar 25 rb per porsi dan untuk minuman sekitar 5
rb hingga 10 rb. Sore hari kami baru sampai di Kota Bangun, sebelumnya di Muara
Sungai Pela dari kejauhan kami sempat melihat beberapa ekor Pesut Mahakam yang
timbul beberapa kali sebelum akhirnya tidak terlihat lagi karena kapal terus
melaju. Saat malam hari otomatis tidak banyak yang bisa di lakukan selain
bersantai di kabin dan beristirahat.
Day 2 : Senin, 9 Januari 2017
Sekitar pukul 5 dini hari
kami sampai di melak, salah satu sobat saat SMA, Wiwin yang sudah setahun
memulai bisnis di sana menjemput kami di pelabuhan dan mengantar ke Hotel
Nanrio. Wiwin menunggu cukup lama di pelabuhan, karena biasanya sekitar pukul 1
dini hari kapal akan merapat, namun karena kapal yang kami tumpangi membawa
cukup banyak barang logistic sehingga memakan waktu cukup lama untuk sampai, dan
tidak tanggung – tanggung, terlambat sekitar 4 jam.
Di Hotel Nanrio suasana
& fasilitas nya sih standar, namun tarif kamarnya yang sensasional, cuman
150 rb per kamar. Sudah termasuk Kamar
kecil di kamar, tv, ac & handuk. Kami beristirahat sebentar dan langsung
check out sekitar jam 10. Berhubung tidak ada sarapan pagi di hotel kami menuju
ke Pasar Barong. Atas rekomendasi Wiwin kami mampir di salah satu warung banjar
yang menjual nasi kuning & lontong sayur. Sedap men, rasanya memang enak
banget dan ramah di kantong. Lalu kami membeli beberapa durian sebagai pencuci
mulut dan melanjutkan perjalanan.
Tujuan wisata pertama
kami hari itu adalah Lamin Pepas Eheng yang ada di Kampung Eheng. Lamin ini
sudah berdiri lama dan masih di diami oleh beberapa keluarga dari Suku Dayak
Benuaq. Kebanyakan mereka berprofesi sebagai petani dan saat ada tamu
berkunjung mereka juga membuat beberapa kerajinan tangan khas Dayak seperti
gelang rotan, anjat (back pack), Mandau (Pedang) untuk di bawa sebagai oleh –
oleh. Pengunjung pun bisa memberi donasi sekedarnya sebagai pengganti biaya
masuk. Ben & Greet membeli beberapa gelang & anjat sebagai oleh – oleh
dan kami menuju Lamin berikutnya yang ada di Melapeh lama, Luuq Melapeh. Lamin
ini tidak bisa kami masuki karena terkunci, namun kami cukup puas untuk bisa
mendokumentasikan dan melihat secara langsung lamin tersebut lalu berkeliling
dengan berjalan kaki di desa tersebut.
Tujuan berikutnya Danau
Aco, yang terletak di perbukitan tinggi, unik kan? Airnya gak bening sih, tapi
landscape hutannya masih sangat bagus dan ada fasilitas trecking untuk
berkeliling di sekitar danau yang jalannya sudah di hotmix (semenisasi). Ada
permainan air seperti perahu kecil jenis lainnya yang bisa di sewa jika
pengunjung mau berkeliling di tengah danau. Puas bersantai di Danau Aco kami
berbalik arah dan menuju Air Terjun Tabalas. Air terjun ini ada di sisi jalan
sehingga mudah di datangi, namun berhubung jalan agak licin, mobil terpaksa di
parkir di samping jalan dan kami berjalan kaki dengan hati – hati supaya tidak
terjatuh, apalagi Ben sudah cukup berusia dan kaki sebelah kanannya belum pulih
benar setelah insiden tabrakan sehingga membuat kakinya patah. Sesampainya di
lokasi air terjun ada beberapa pengunjung yang sebelumnya juga kami temui di
Danau Aco, mereka asyik berenang sampai terjun dari ketinggian. Kami tidak lama
lalu bergegas kembali lagi untuk meneruskan perjalanan.
Lamin ke 3 yang kami
datangi adalah Lamin Adat Luuq Kerai yang di Linggang Bigung. Di resmikan pada
tanggal 28 Oktober 2015 oleh Bupati Kutai Barat saat itu, Ismael Thomas,
SH.,Msi. Pada jaman dahulu lamin ini sangat panjang, hal ini bisa kita lihat
masih ada beberapa tiang lamin saat di simpang jalan Pinang Berbaris hingga
menuju lamin adat ini. Dari informasi yang kami dapatkan dari penjaga lamin
dahulu semua warga di sekitar berdiam di satu lamin, oleh karena itulah mengapa
lamin dahulu sangat panjang dan lebar. Lamin Adat Luuq Kerai kini berfungsi
sebagai balai umum, namun juga bisa sebagai homestay bagi para turis, tari –
tarian bisa di set tergantung permintaan dari pihak yang bersangkutan. Beberapa
pilar utama di ukir dengan beberapa motif dari Suku Dayak Bahau & Tunjung.
Bagian dalamnya sangat luas dan bersih, dan ada beberapa kamar. Mereka juga
masih menyimpan tengkorak kepala sisa peninggalan nenek moyang saat masih era
Ngayau (memotong kepala orang yang dianggap musuh sebagai bentuk kedigdayaan,
kekuatan, kekuasaan pada masa itu) dan beberapa pusaka sacral yang hanya
dikeluarkan saat moment khusus.
Dari Lamin Adat Luuq
Kerai kami meneruskan perjalanan menuju Ombu Asa, ada 2 lamin yang kami lihat
namun sudah desainnya sudah tersentuh modernisasi, terlihat dari material
bangunan yang di gunakan seperti atap yang sudah menggunakan seng, dan di
beberapa bagian lainnya. Ben & istrinya tidak terlalu tertarik untuk masuk
kedalam, cukup melihat & mendokumentasikan dari luar. Tujuan kali ini
adalah Taman Budaya Sendawar yang ada di pusat kota. Ben & Greet cukup
antusias melihat area budaya yang luas ini, sehingga meluangkan waktu untuk
berkeliling dan melihat secara seksama bentuk bangunan lamin yang berjumlah 6
lamin dengan masing – masing motif ukiran sesuai motif suku yang ada, Melayu
dan 5 suku dayak lainnya. Setelah puas berkeliling kini saatnya kami untuk
makan, dan sore nya (sebelum maghrib) kami
menuju pelabuhan untuk kembali ke arah ilir sungai mahakam menuju Kota Bangun
dengan kapal (house boat). Di kapal Ben & Greet terlihat sudah cukup lelah
sehingga langsung beristirahat sedangkan saya memilih mendinginkan badan dengan
santai didepan perahu bagian atas. Beberapa kampung tidak terlalu bisa di
nikmati karena sudah gelap, hanya lampu penerangan yang bisa di lihat. Setelah
melewati Muara Pahu 2 ABK kapal berkeliling untuk menarik biaya kapal kepada
penumpang, kami membayar sekitar 150 rb per orang untuk tujuan ke Kota Bangun,
harga yang sama yang bisa kami dapatkan jika terus menuju Samarinda. Namun kami
harus ke Kota Bangun karena akan meneruskan perjalanan wisata, yakni menyusuri
sungai mahakam dengan menggunakan Ketinting untuk mencari pesut mahakam.
Day 3 : Selasa, 10 Januari 2017
Sekitar pukul 3 dini hari
kami tiba di Kota Bangun, kami menuju Penginapan Mukjizat yang berada tidak
jauh dari pelabuhan dan langsung beristirahat. Jam 9 pagi setelah sarapan dengan
menggunakan ketinting kami menyusuri sungai mahakam ke arah ulu sungai menuju
Kecamatan Muara Muntai hingga Desa Batuq. Banyak atraksi burung air yang kami
lihat termasuk satwa liar lainnya seperti Lutung (Monyet Hitam), aktifitas
warga sekitar yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Kami juga menyempatkan
berjalan – jalan di kampung Batuq lalu makan siang di warung terapung di Muara
Muntai. Lalu menuju Danau Melintang dan singgah di Desa Melintang, kampung yang
di diami mayoritas oleh Suku Banjar dari Kalimantan Selatan. Beberapa aktifitas
warga yang membuat ikan asin, ikan asap cukup membuat tamu saya antusias untuk
melihat lebih dekat. Lalu menuju Danau Semayang dan saat memasuki Sungai Pela
akhirnya kami menemukan kelompok Pesut Mahakam. Pesut mahakam muncul di
beberapa lokasi yang berjauhan dari perahu kami, ada yang didepan, samping dan
belakang. Kami mengikuti kelompok tersebut dengan kecepatan yang rendah dan
jarak aman (dibawah 10 knot / 30 m). Setelah 1 jam Ben & Greet merasa sudah
cukup puas melihat atraksi pesut mahakam dan kembali ke Kota Bangun. Selepas
makan malam kami beristirahat untuk mengisi tenaga, supaya besok bisa fit kembali
untuk menyusuri sungai mahakam kearah ilir sungai.
Day 4 : Rabu, 11 Januari 2017
Setelah
sarapan pagi, kami menyusuri sungai mahakam dengan rute yang berbeda, kali ini
kami menuju kearah ilir sungai mahakam menuju Kecamatan Muara Kaman. Ada yang
belum berhasil kami temukan, yakni Bekantan alias Proboscis Monkey. Selain itu
kami juga berencana mengunjungi Situs Kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang
terletak di Gunung Brubus, Muara Kaman Ulu. Memasuki Sungai Kedang Rantau,
akhirnya kami melihat beberapa kelompok Bekantan di lokasi yang berbeda. Lalu
kami menunggu sebentar di persimpangan anak sungai antara Desa Sabintulung
& Desa Tunjungan untuk rehat sebentar sambil menikmati suasana yang sepi di
lokasi tersebut. Kami melanjutkan perjalanan ke Desa Sabintulung dan sempat
melihat ada 2 ekor pesut mahakam saat akan memasuki desa. Namun sayang tidak
lama kemudian pesut mahakam tersebut berbalik arah, sedangkan Ben & Greet
merasa capek duduk terlalu lama di perahu dan ingin berjalan – jalan di kampung,
jadi kami meneruskan perjalanan ke Desa dan meninggalkan pesut mahakam. Sesampainya
di Desa Sabintulung, beberapa rumah yang ada di dataran rendah di bagian ulu
desa mulai terendam banjir, hal ini cukup memberi pengalaman sendiri bagi Ben
& Greet dan bertanya banyak hal tentang bagaimana warga menghadapi banjir,
lama banjir dan sebagainya. Kedatangan kami cukup membuat heboh warga, mungkin
jarang ada turis asing datang di kampung sehingga banyak warga meminta untuk
foto bersama. Puas berjalan – jalan di kampung, kami naik ketinting lagi dan
menuju Muara Kaman untuk makan siang, lalu menuju Situs Lesong Batu yang ada di
Muara Kaman Ulu. Kami masuk melalui jalan belakang, tepatnya dekat kuburan
cina, melalui medan jalan yang penuh semak – semak dan nyamuk, namun lebih
cepat dari pada jalan yang lain. Setelah Lesong Batu lalu mengunjungi Museum
Martadipura untuk melihat replica 7 prasasti Yupa yang membuktikan adanya
Kerajaan hindu tertua di Muara Kaman, yakni sejak abad ke 3 Masehi. Walau cuma
ada replica, namun itu sudah cukup untuk memberi kebanggaan karena lokasi ini
merupakan situs kerajaan hindu tertua di Indonesia. Kami kembali ke ketinting
dan balik menuju Kota Bangun dan menyudahi trip hari itu.
Day 5 : Kamis, 12 Januari 2017
Hari
terakhir pasangan belanda ini saya ajak ke Jembatan Martadipura di Desa Liang,
Kecamatan Kota Bangun. Lalu kami menuju Tenggarong dan mengunjungi Museum
Mulawarman, Museum Kayu, Jam Ningrum & Kedaton. Setelah puas berjalan –
jalan di Museum Lalu kami makan siang dan kembali ke Balikpapan untuk mengakhiri
trip.
Salam kenal, saya Kadir dari Balikpapan.
ReplyDeleteBagus sekali artikelnya ini.
Kapan-kapan saya ingin berkunjung juga nih.
Kalo boleh tanya, bisa tidak naik perahu/kapal kayu seperti yang diceritakan dari Samarinda ke Melak sambil mengangkut sepeda motor?
Bisa om, langsung dari pelabuhan sungai kunjang, samarinda.
Delete