Wisata Susur Sungai Mahakam dengan House Boat

Pada era 80 – 90 an, Wisata susur sungai mahakam merupakan salah satu yang di minati oleh wisatawan mancanegara. Dengan beberapa tipe Kapal Wisata, dari yang kecil (Kapasitas 4 orang), sedang (10 Orang) hingga besar (20 orang) menyusuri sungai mahakam dari Samarinda / Tenggarong menuju ke arah hulu mahakam, dari Kutai Barat hingga Mahakam Ulu. Ada beberapa destinasi yang akan di explore saat perjalanan, mulai dari Desa Suku Dayak Kenyah, Lekaq Kidau, Muara Kaman, Muara Muntai, Desa Suku Dayak Benuaq di Mancong & Tanjung Isuy, Muara Pahu, Desa Tebisaq, hingga Cagar Alam Padang Luway yang lebih terkenal dengan sebutan Kersik Luway dengan Anggrek Hitam yang tersohor di mana – mana di Melak, Kutai Barat. Namun memasuki era 2000 an, animo pengunjung wisatawan yang menggunakan kapal ini menurun drastis, namun tetap saja masih ada yang ingin menyusuri sungai mahakam dengan kapal wisata karena menawarkan sesuatu yang lebih exclusive dan lebih santai.

Day 1 : Dini hari saya berangkat menuju Balikpapan untuk menjemput tamu berkewarganegaraan Australia, Yakni sepasang suami istri John & Karen yang kebetulan membawa 2 orang temannya Julie (Australia) dan Michael (Irlandia). Jam 8.15 kami tiba di rumah mereka di Balikpapan dan setelah muat barang di mobil langsung menuju Tenggarong via Samarinda. Kami merapat di Pelabuhan Tenggarong yang ada di Seberang Tengarong dekat Stadion Aji Imbut, untuk muat ke Kapal Wisata KM. Aisya. Setelah proses administrasi beres, kapal kami berangkat perlahan menuju hulu mahakam, target kami besok pagi sudah sampai di Muara Muntai. Jam makan siang sudah tiba, para tamu di persilahkan makan di lantai dasar kapal yang memang sudah di set dengan meja makan besar. Percakapan hangat mengalir santai sambil meninggalkan Kota Tenggarong, sesekali mereka mendokumentasikan moment yang kala itu masih banjir namun perlahan sudah mulai surut. Selanjutnya kebanyakan waktu mereka di habiskan di depan Top deck (Lantai atas) yang sudah disediakan bangku untuk santai sambil melihat pemandangan di sepanjang perjalanan. 


Malam hari sesudah makan malam, sehubungan dengan hari Ulang Tahun Karen, kami sudah mempersiapkan kejutan dengan memberi Kue Ulang Tahun. Karen nampak bahagia sekaligus kaget. Sesudah makan malam, mereka pun langsung beristirahat di kamar yang ada di top deck dengan kamar yang luas serta dilengkapi dengan AC, Kipas Angin dan terminal listrik. Saya tidak langsung beristirahat namun ngobrol sambil ngopi dengan ABK, Kapten Kapal & koki di bagian depan kapal. Sekitar jam 23.00 baru satu persatu kami terbuai mimpi sambil di temani semilir angin (kecuali kapten dan ABK yang bergantian mengemudikan kapal)


Day 2 : Sekitar pukul 8 kami tiba di Muara Muntai, lepas sarapan pagi tamu saya ajak berjalan – jalan dulu di Muara Muntai yang mempunyai bentangan Jembatan Kayu Ulin terpanjang di Indonesia (bahkan Asia) lalu menuju Desa Mancong & Tanjung Isuy dengan menggunakan Perahu berkapasitas 8 orang dengan 4 barisan tempat duduk yang masing – masing bisa berisi 2 orang. Panjang perahu sekitar 11 meter dengan lebar sekitar 1,65 meter dan mengecil ke bagian depan perahu serta mesin berdaya 40 HP dengan starter sehingga tidak menyulitkan motoris untuk menghidupkan mesin saat di perjalanan. Kami melintasi Danau Jempang yang merupakan danau terbesar di Pulau Kalimantan dengan luas sekitar 15.000 Ha, lalu melintasi Desa Jantur (Kutai Kartanegara), Ohong (Kutai Barat) lalu memasuki jalur sungai kecil yang di penuhi Enceng Gondok. Itulah mengapa ketinting besar ini hanya di muat maximal 3 orang saja, supaya bisa dengan mudah menerobos kumpulan enceng gondok karena bobotnya lebih ringan. 








Banyak primata yang kami lihat saat perjalanan di jalur tersebut, mulai dari Monyet Ekor Panjang, hingga Bekantan. Tidak seperti di area lain yang biasanya kabur saat kami baru mendekat untuk mengamati lebih dekat, disini prilaku lebih tenang dan tidak kabur saat kami melintas maupun mematikan mesin supaya tidak membuat mereka takut atau terganggu. Beberapa kali kami seperti terjebak oleh banyaknya Enceng Gondok, seolah – olah tidak bisa dilewati, namun karena rute ini sudah biasa dilalui oleh motoris, mereka masih bisa melintasi ataupun mencari rute alternative lainnya untuk bisa ke Mancong. 




Kami sampai di Desa Perigiq yang di diami Suku Dayak Benuaq, karena banjir belum terlalu surut, kami tidak bisa melintasi 2 buah Jembatan yang ada di desa tersebut, sehingga kami harus menggunakan perahu kecil yang ada di desa tersebut untuk bisa sampai di Mancong, perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit dengan perahu kecil yang panjangnya sekitar 7 meter dan tanpa atap tersebut. Namun karena melintasi sungai kecil dengan hutan yang lebat di kedua sisinya, panas tidak terlalu menyengat. Kami sampai di Desa Mancong lalu break untuk makan siang dulu, makanan sudah dipersiapkan dari House Boat (kotakan). Setelah makan siang baru kami disambut dengan ritual dari pengurus adat setempat sebelum memasuki Lamin (Rumah Panjang) khas Suku Dayak Benuaq atau yang biasa di sebut Lo’u. Sajian tari – tarian mulai ditampilkan, ada sekitar 6 tarian yang ditarikan oleh orang dewasa dan anak – anak dengan durasi pendek. Ada tari piring, tari bercocok tanam, tari Beliant, menyumpit dll. Tamu juga diajak untuk menari bersama di beberapa tarian yang membuat mereka senang. Selepas tari – tarian mereka membeli beberapa kerajinan tangan warga setempat lalu kami menuju kembali ke Desa Perigiq dan berganti perahu kembali dan melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Isuy. 
























Di Desa Tanjung Isuy yang sempat populer di tahun 80 hingga 90 an, kami mengunjungi 2 lamin. Yang pertama di Louu Taman Jamrud yang ada di sisi sungai, dan yang ke dua di Lamin Batubura yang ada di sebelah darat. Di Louu Taman Jamrud yang juga sekaligus penginapan ini, Karen dkk membeli beberapa marchendise, sedangkan di lamin Batubura lebih untuk melihat mesin tenun Ulap Doyo hasil bantuan dari beberapa NGO Internasional & nasional yang konsen terhadap pelestarian budaya, khususnya seni tenun. Ibu Sumiyati yang mendiami lamin Batubura sudah lama menekuni Seni Ikat Ulap Doyo dan pernah mendapat penghargaan dari Presiden Indonesia di tahun 2000 yang saat itu di jabat oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Saat di perjalanan menuju Lamin Batubura kami sempat bertemu dengan pihak TNI dan diminta mampir untuk melapor perihal kedatangan kami. Setelah memberi salinan passport, ngobrol singkat dan foto – foto kami lanjutkan menuju Lamin Batubura. Kami kembali ke Muara Muntai saat hari sudah mulai gelap, dengan GPS yang saya bawa terlihat bahwa motoris memang sudah hapal dengan rute walau mereka harus melewati Danau Jempang yang luas untuk menuju Muara Muntai. Perjalanan cukup mulus, walau permukaan air di danau saat itu sedang sedikit bergelombang. Sekitar 1,5 jam kami sampai di Muara Muntai dan menaiki House Boat kembali. Makan malam langsung disediakan sembari kapal bertolak menuju Melak, Kabupaten Kutai Barat. 











Day 3 : Kami tiba di Melak sekitar pukul 8.00 pagi. Kali ini kami akan mengunjungi Lamin Pepas Eheng serta Cagar Alam Padang Luway dengan menggunakan mobil. Kami mengunjungi Cagar Alam Padang Luway terlebih dahulu mumpung masih pagi. Dengan pemandu lokal (Pak Sumarso) kami memasuki beberapa titik di areal yang dipenuhi dengan pasir putih untuk mencari Anggrek Hitam. Kami beruntung masih bisa menemukan Anggrek Hitam yang sudah 3 hari mekar, namun setidaknya para tamu masih bisa melihat secara langsung Anggrek Langka tersebut. Tidak itu saja, namun ada beberapa anggrek lainnya yang di tunjukan Pak Sumarso, termasuk Anggrek Tebu dan Anggrek terkecil di dunia. Pak Sumarso menerangkan bahwa pada awalnya di Cagar Alam Padang Luway memiliki sekitar 90 an jenis Anggrek, namun area ini sempat terbakar beberapa kali di musim kemarau dan sekarang hanya tersisa di bawah 50 an jenis Anggrek. Pak Sumarso juga saat ini sudah melakukan riset dan akan membuat buku tentang jenis – jenis anggrek yang ada. Saat ini sedang dalam tahap finishing dan mungkin sebentar lagi akan segera memasuki proses cetak. 



Kami lalu menuju Desa Eheng. Sebelum memasuki lamin, kami terlebih dahulu melihat kuburan lama suku Dayak Benuaq yang ada di seberang lamin baru menaiki Lamin. Lamin (rumah panjang / Lou / Louu) Pepas Eheng merupakan satu – satunya Lamin yang masih didiami oleh Suku Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat. Pengunjung di minta untuk membayar donasi seikhlasnya dan bisa membeli kerajinan tangan untuk membantu perekonomian warga setempat. Tamu membeli Anjat untuk kenang – kenangan lalu kembali ke House Boat sekitar tengah hari dan House Boat kembali memulai perjalanan menuju Tenggarong. Masih banyak waktu yang bisa digunakan untuk mengamati sisi sungai mahakam dan sekitarnya, termasuk wildlife fhotography, beberapa kelompok Monyet Ekor Panjang, Lutung dan burung tak lepas dari jepretan John yang saat itu membawa lengkap peralatan kamera. 








Day 4 : Sekitar pukul 8 pagi kami akhirnya tiba di Tenggarong. Kami mengunjungi Museum Mulawarman dan Museum Kayu Tuah Himba. Sehubungan John & Karen sangat antusias dengan segala hal yang berhubungan dengan seni, budaya, kearifan lokal serta tumbuh – tumbuhan, mereka senang sekali bisa berkunjung di kedua tempat tersebut. Kami menuju samarinda untuk melihat lebih dekat di komples Islamic Centre, mulai dari menaiki Menara yang dilengkapi dengan lift sehingga pengunjung bisa dengan mudah mencapai puncak menara dan melihat kota Samarinda dari ketinggian. Tidak itu saja, kami juga memasuki beberapa tempat yang diperbolehkan untuk dimasuki tamu asing atau yang beragama non muslim. Selepas itu baru kami kembali ke Balikpapan.  









Videonya silahkan lihat di bawah ini.


Comments