Assessment Potensi Wisata Mahakam bersama WWF

        Kegiatan ini  dilakukan untuk membuat semacam alur paket wisata dasar yang nantinya akan dilempar kepada pihak yang kompeten dalam menjual dan memasarkannya, yakni pihak Travel serta Tour Guide selaku pemandu wisata. Adapun focus lokasi yang kami datangi lebih menitik beratkan di sekitar Sungai Mahakam sebagai jalur transportasi umum, sumber kehidupan masyarakat dari jaman dulu, sejarah, hingga kekayaan flora fauna yang ada di sepanjang sisi sungai. Sungai Mahakam yang memiliki panjang sekitar 920 km menyimpan banyak daya tarik, mulai dari Kerajaan Hindu Tertua di Indonesia yang ada di Muara Kaman (Kutai Martadipura di abad ke 3), Lumba – lumba Air Tawar Sungai Mahakam (Pesut Mahakam / Orcaella Brevirostris / Irrawady Dolphin), hingga sekitar 76 danau yang tersebar di DAS Mahakam dan berkisar 30 danau terletak di daerah Mahakam bagian tengah termasuk tiga danau utamanya yakni Danau Jempang 15.000 Ha (terbesar ke 6 di Indonesia), Danau Semayang 13.000 Ha (terbesar ke 10 di Indonesia), dan Danau Melintang 11.000 Ha. Sungai Mahakam juga memberi warna warni bagi suku yang ada di Kalimantan Timur, terlihat dari keberagaman suku yang mendiami sisi sungai mahakam termasuk ratusan anak sungai, mulai dari Kutai Kartanegara hingga ke Mahakam Ulu. Baik suku Melayu (Kutai) maupun suku Dayak (Kenyah, Tunjung, Benuaq, Modang, Bahau, dll).

Ada 3 Kabupaten yang kami coba koneksikan masing – masing objek wisatanya, yakni Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat dan Mahakam Ulu. Kutai Kartanegara terkenal dengan Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang berhasil menaklukan Kerajaan Martapura di abad ke 16. Kutai Barat dengan nuansa etnik Suku Dayak yang didominasi oleh Suku Dayak Benuaq & Tunjung serta Mahakam Ulu yang juga memiliki nuansa etnik Suku Dayak lain, yakni Bahau Bate’ beserta Sub Bahau lainny, namun memiliki landscape yang jauh berbeda dengan di Kutai Barat. Hal ini bisa di lihat dari rute perjalanan melalui Sungai Mahakam, dimana saat melintas dari Tering menuju Ujoh Bilang, sudah memiliki banyak karangan di tengah sungai yang dangkal. Jika kita terus ke arah hulu, maka kita akan melewati 2 Jeram yang ekstrem (level 3) yakni Jeram Udang & Panjang. Dari segi budaya, Mahakam Ulu juga memiliki aset hidup yang mulai jarang di temukan di daerah lain, yaitu Nenek bertelinga panjang. Semua daerah memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing, namun yang pasti sangat menarik jika semua spot di atas bisa di rangkum menjadi satu destinasi wisata.

Day 1 :
Kami berkumpul di base WWF Samarinda, ada Ery Panca selaku Penanggung Jawab Kegiatan, Ary selaku pendamping dari WWF, mas Nano dari Jakarta selaku Tim Leader, Arbie Jueng (Budayawan), Sugeng Hendratro (Fhotographer WWF) dan saya sendiri selaku Tour Guide. Agenda kami pada hari itu adalah bertemu dengan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur, Pak Syafrudin Pernyata yang lebih akrab di panggil Pak Es. Sambutan beliau sangat ramah, hangat dan jauh dari kesan kaku. Perbincangan sangat cair dan penuh canda tawa. Selain memberi restu untuk kegiatan kami beliau juga memberikan 3 buah buku novel hasil karangan beliau sendiri  sebagai kenang – kenangan. Lalu kami menuju Tenggarong dan menginap di Hotel Fatma.




Day 2 :
Pagi hari kami menuju Museum Mulawarman untuk napak tilas sejarah Kutai Kartanegara Ing Martadipura, jiarah ke Makam Raja – raja, lalu mengunjungi Museum Kayu Tuah Himba yang penuh dengan edukasi tentang Flora, mulai dari biji, daun, batang pohon dan masih banyak lagi. Setelah makan siang kami menuju Pulau Kumala untuk bertemu dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Kartanegara, Ibu Sri Wahyuni. Kami disambut ramah oleh beliau di sela – sela kegiatan Workshop Labelling Benda Budaya di salah satu Lamin yang ada di Pulau Kumala. Setelah bincang – bincang mengenai maksud dan tujuan kami, arahan & masukan dari beliau, kami pamit dan sebelum itu keliling dulu di Pulau Kumala dengan Mobil wisata. Dari tenggarong kami langsung menuju Kota Bangun dan menginap di Penginapan Mukjizat. Agenda ke Goa Keraton di Desa Lebaho Ulaq & Air Terjun Kandua Raya di Desa Kedang Ipil terpaksa di tunda karena waktu tidak memungkinkan.



Day 3 :
Sarapan pagi dengan kuliner khas Kutai, Nasi Kuning dari kota bangun yang mak nyoss, kami menyusuri Sungai Mahakam menuju ilir menuju Muara Kaman untuk melihat sisa – sisa peninggalan Kerajaan Hindu tertua di Indonsia, yakni Kerajaan Kutai Martadipura yang sudah eksis sejak abad ke 3. Namun keberuntungan berpihak kepada kami, di Muara Sungai Belayan kami menemukan sekelompok Pesut Mahakam yang asyik bermain. Momen langka ini kami manfaatkan sebaik – baiknya dengan mendokumentasikan Lumba – lumba air tawar Sungai Mahakam ini. Lalu perjalanan kami lanjutkan kembali.




Di Muara Kaman kami menuju Gunung Brubus (Muara Kaman Ulu), pertama kami mendokumentasikan Kuburan Cina yang tahun wafatnya sekitar tahun 1945 an, beberapa di antaranya adalah Gosohiong (Wafat 14-1-1954 / 10-12-2504), Goex Koex Fong (Wafat 5-3-1945), Liem Seng Djien (14-10-1945) dan masih ada beberapa lagi namun sayang tulisan di nisan sudah aus.



Lalu melalui semak belukar dengan jalan setapak kami menuju Situs Lesong Batu yang dikeramatkan oleh warga. Arkeolog menyebut batu Andesit ini dengan Monolith. Bentuknya hampir sama dengan Prasasti Yupa tapi tanpa ada tulisan pada monolith tersebut. Menurut cerita legenda yang dituturkan oleh warga, saat peperangan antara Kerajaan Kutai Kartanegara di abad ke 16 (sekitar tahun 1635 – 1650, saat Kerajaan Kutai Kartanegara di pimpin oleh Pangeran Sinum Panji Mendapa sedangkan Martapura dipimpin oleh Darmasetia) Kerajaan Martapura berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Beberapa pemuka Hindu berupaya menyelamatkan barang – barang berharga seperti arca – arca (Arca Mahadewa, Guru, Ganesya, Kartikeya, Mahakala, Nandiswara & Nandin). Karena tergesa – gesa ada beberapa barang berharga yang tercecer sehingga di temukan oleh pasukan Pangeran Sinum Panji Mendapa seperti Kalung Uncal, Kura – kura emas (yang kemudian dijadikan atribut oleh Kerajaan Kutai Kartanegara dalam upacara – upacara adat). Dan Lesong Batu adalah salah satunya yang tidak berhasil di bawa ke Tangga Arung (sekarang Tenggarong) karena setiap kali di bawa, ada kejadian gaib yang menghalangi batu itu untuk di bawa pergi. Hingga kini Lesong Batu masih sering di jiarahi oleh orang – orang yang beragama Hindu.


 Kami berjalan tidak jauh untuk memasuki Museum Martadipura untuk melihat beberapa replica Prasasti Yupa yang bertuliskan dengan huruf Pallawa dengan bahasa Sansekerta. Serupa dengan prasasti – prasasti Tarumanagara, kalimat prasasti yupa berbentuk puisi India berirama Anustubh (Sumber : Kajian Arkeologi Sejarah “Kerajaan Kutai Martapura”, Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum & Drs. H. Gunadi, M.Hum, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, 2007). Ada sekitar 7 replika prasasti yang ada di Museum, lengkap dengan translasi bahasa Indonesia dan Inggris. Menurut informasi dari beberapa sumber, prasasti Yupa yang asli ada di Museum Nasional Jakarta, dan ada juga yang menyebutkan masih di salah satu museum di Belanda. Isi Transkripsi & Translasi di salah satu Prasasti Yupa ini menyebutkan :
Srimatah sri-narendrasya                           
                Kundungasya mahatmanah                     
                Putro svavarmmo vikhyatah                     
                Vansakartta yathansuman                        
                Tasya putra mahatmanah                         
                Trayas traya ivagnayah                                               
                Esan trayanam pravarah                            
                Tapo-bola-damanvitah                                               
                Sr? mulavarmma rajendro                         
                Yastva bahusuvarnakam
                Tasya yajnasya yupo ‘yam
                Dvijendrais samprakalpitah
                (Poerbatjakaraka, 1952:9)

Yang artinya :
                Sang Maharaja Kudunga
                Yang amat mulia
                menyerupai putra yang mashur
                Sang Aswawarmman namanya
                yang seperti San Ansuman (Dewa Matahari)
                menumbuhkan keluarga yang sangat mulia
                Sang Aswawarmman mempunyai tiga putra
   Seperti Api (yang suci) tiga
  Yang terkemuka dari tiga putra itu adalah Sang Mulawarmman
  Raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa
  Sang Mulawarmman telah mengadaka kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-                    banyak
Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini
Didirikan oleh para Bahmana
(Boechari, SNI, II, 1984:331)

Kami juga menemukan beberapa makam islam tua di dekat situs Lembu Ngeram. Nisan dilengkapi dengan inskripsi berhuruf Arab, salah satunya adalah makam Syech Rasyid Subki dan istrinya Nyai Raden Difitri, Orang Sabintulung yang tersusu kepada Arya Seta. Walaupun kedua nisan tersebut memuat anasir penanggalan, yang meliputi unsur hari, tanggal dan bulan, namun sayang angka tahunnya tak disebut atau tidak terbaca karena aus. Namun pada nisan lainnya didapati nisan bertarikh. Misalnya makam Habib Abdullah di dekat situs Lembu Ngeram memuat tarikh 1361 H (1941 M) atau mungkin 1321 H (1901 M).  (Sumber :  “Kerajaan Kutai Martapura”, Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum & Drs. H. Gunadi, M.Hum, 2007).
Nisan 1 :
                Lahu Allah Muhammadrrosulullah
                Alamat ini nizannya ibunya
                Ni Raden Pati Orang Sabintulung
                Tersesak kepada hari Sabtu lima belas hari
                Bulan awal Muharam Hijriyah
                Nabi sallahu Alaihi Wassalam…
                … tu Sabintulu ..



                Puas berkeliling kami kembali ke ketinting dan kembali menuju ulu sungai mahakam, kali ini kami langsung ke Muara Muntai dengan melintasi Danau Semayang & Melintang melalui Sungai Pela. Saat memasuki area danau pemandangan terasa seperti mengarungi lautan yang luas, maklum saja, dengan luas 13.000 Ha danau Semayang termasuk danau terbesar ke 10 di Indonesia. Sedangkan Danau Melintang luasnya hanya sekitar 11.000 Ha. Di tengah kedua Danau ada beberapa desa terapung, seperti Desa Semayang (di Danau Semayang) dan Melintang (di Danau Melintang), mayoritas di huni oleh Suku Banjar dari Kalimantan Selatan yang sudah menetap cukup lama, dan kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Desa ini terkenal dengan produk ikan asin nya yang berkualitas A (Grade / Kelas) di export ke luar pulau bahkan luar negeri. Lalu kami memasuki sungai kecil yang di sebut sungai Rebaq Dinding, dan ada juga yang menyebutkan Sungai Merinding. Sungai ini cukup kecil dengan lebar sekitar 10 an meter, sehingga motoris harus berhati – hati setiap melewati tikungan yang tajam. Banyak perahu warga lokal sering melintas di sungai ini karena merupakan jalan pintas dari Muara Muntai menuju Danau / Desa Melintang, ataupun dari arah sebaliknya (termasuk Kota Bangun). Sekitar 15 menit kami kembali bertemu dengan Sungai Mahakam dan memasuki Desa Rebaq Dinding yang terhubung dengan Desa Muara Muntai  dan Kayu Batu. Perjalanan hari ini di sudahi di Muara Muntai dan kami menginap di Penginapan Sri Muntai yang terkenal bagi wisatawan Asing yang ber backpacker ria. Harga kamar mulai dari 50 ribuan sampai 100 ribuan, tentu dengan fasilitas terbatas bed & kipas angin. Namun yang pasti, yang hobi ngopi maupun ngeteh, pasti senang karena penginapan menyediakan dispenser air panas dan kopi, the, lengkap dengan gula.




 Day 4 :
                Perjalanan kami lanjutkan menuju Desa Tanjung Isuy (Kabupaten Kutai Barat) melalui Danau Jempang (Danau terbesar ke 6 di Indonesia, dengan luas 15.000 Ha).  Sama halnya dengan Danau Semayang maupun Melintang yang memiliki Desa di tengah Danau, di Danau Jempang juga mempunyai Desa di tengah danau, yakni Desa Jantur (Kecamatan Jantur, Kutai Kartanegara). Penduduknya pun sama, Suku Banjar. Semua rumah panggung berdiri di dataran rendah namun merupakan tekstur paling tinggi di danau, dan di rakit terapung di depan. Sehingga akses antar warga tergantung dengan Jembatan kayu dan menggunakan perahu (ketinting) untuk menuju desa lainnya. Kami mampir di salah satu agen Ikan Asin di Desa Kecamatan Jantur, untuk melihat aktifitas nelayan yang menyetor ikan hasil tangkapan sedangkan ibu – ibu mengambil upahan untuk membersihkan ikan. Ikan selanjutnya akan di pisah sesuai jenis dan ukuran, lalu direndam dengan garam curah dengan waktu tertentu (sekitar beberapa jam) lalu di jemur. Jika cuaca sedang panas, maka proses penjemuran cukup memakan waktu 1 hari. Lalu ikan asin akan di packing dan siap kirim ke agen ikan yang lebih besar, yang biasanya berasal dari kota besar seperti Samarinda, lalu menjual kembali ke jaringan antar pulau. 






Perjalanan kami teruskan menuju Desa Tanjung Isuy, Kabupaten Kutai Barat. Berbeda dengan Jantur yang berada di bagian tengah Danau Jempang, Desa Tanjung Isuy berada di sisi pinggir Danau Jempang dan terhubung dengan akses darat (Melak, Camp Baru, Resak, Kota Bangun, Tenggarong, dll). Kami sempatkan makan siang terlebih dahulu di perahu, di seberang desa Tanjung Isuy dekat pepohonan rindang (sekaligus pemakaman umum). Setelah makan baru kami singgah di Pelabuhan Desa Tanjung Isuy. 


Pemandangan tidak enak langsung terlihat saat menjejakan kaki, sampah plastic terlihat jelas di pinggir desa. Problem sampah ini menjadi masalah di hampir semua desa di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dll. Kami mulai mengexplore satu persatu daya tarik desa ini, yakni Rumah Panjang / Lamin / Louu suku Dayak Benuaq. Pertama ada Lamin Tumenggung Merta yang diresmikan pada tanggal 7 Mei 2014 oleh Wakil Gubernur Provinsi Kalimantan Timur saat itu, H. Mukmin Faisyal HP. Konsep lamin ini lebih modern dan dari beberapa kamar yang ada hanya 1 yang dihuni oleh warga. Kebanyakan turis asing tidak terlalu tertarik untuk mengunjungi lamin ini. 





Lalu ada Louu (Lamin) Jamrud yang berkesan lebih tradisional. Di belakang lamin ini terdapat Penginapan Taman Jamrud yang sering di singgahi turis mancanegara. Di dalam lamin masih terdapat ukiran – ukiran Suku Dayak Benuaq, Tengkorak kepala kerbau (biasanya di gunakan saat acara adat Kwangkai / kematian), sedangkan di depan berjejer bebeapa patung Belontang yang menandakan berapa kali proses Kwangkai telah di lakukan. 







Lalu kami menuju Louu terakhir, yakni Louu Batubura yang ada di bagian sebelah darat Desa Tanjung Isuy. Louu ini lebih panjang dari pada Louu yang lain dan lebih berkesan tradisionil. Di dalamnya ada beberapa kamar yang di huni lebih banyak warga, dan beberapa alat tenun Ulap Doyo semi modern bantuan dari beberapa LSM / Yayasan dari Pulau Jawa. 



Puas mengambil dokumentasi dan beberapa informasi penting, kami pamit dan menuju Melak (Kabupaten Kutai Barat) dengan transportasi darat. Kami tiba di base WWF Kubar malam hari, dan langsung di arahkan untuk bermalam di Homestay di Desa Linggang Melapeh, yang merupakan bagian dari Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Linggang Melapeh dan dibantu oleh WWF Kutai Barat. Kami terbagi di 2 Homestay, saya bersama Arbie Jueng dan Om Sugeng Hendratno, sedangkan Ary dan Mas Nano di homestay lainnya. Kami berkenalan & disambut dengan ramah oleh tuan rumah dan langsung di ajak untuk makan malam. Selepas puas ngobrol santai di teras belakang kami langsung melepas lelah di kamar untuk beristirahat

Day 5 :
                Sarapan pagi perdana di homestay kami di suguhi dengan Pisang Goreng, kopi dan nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi. Setelah sarapan kami pamit sebentar kepada tuan rumah karena ada beberapa agenda yang akan kami  kerjakan dan nantinya kembali lagi sekitar sore hari. Kami pergi ke Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Barat untuk bertemu dengan Kepala Dinas. Sayang sekali saat itu status Kepala Dinas sedang Pensiun dan saat ini di bantu oleh Sekretaris Dinas Pariwisata sebagai Plt. Itupun sedang ada kegiatan di luar, Kabid (Kepala Bidang) pun juga sama, jadi kami diterima oleh Kasi Pengembangan Destinasi. Selepas perbincangan menarik tentang kondisi Pariwisata di Kabupaten Kutai Barat kami pamit dan ishoma untuk melakukan Ibadah Sholat Jum’at. Setelah Sholat, kami makan siang dulu baru explore beberapa objek wisata andalan di Kutai Barat, pertama Cagar Alam Padang Luway yang berada di bawah naungan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Lokasi ini ramai di datangi pengunjung lokal dan domestic setiap minggunya dikarenakan daya tarik utama, Anggrek Hitam (Black Orchids). Kami beruntung karena saat itu salah satu anggrek hitam sedang mekar. Anggrek Hitam hanya bertahan selama 3 hari saat mekar, setelah itu maka anggrek akan layu kembali. Setelah itu kami menuju Desa Eheng untuk mengunjungi Lamin Pepas Eheng yang masih di diami warga dari Suku Dayak Benuaq. Ada salah satu travel dari Jakarta saat itu yang membawa rombongan dan meminta adanya tarian di lamin. Kami pun memanfaatkan keberuntungan kami untuk mendokumentasikan momen emas tersebut. Selepas Lamin Pepas Eheng kami menyempatkan untuk mencicipi Durian lokal termasuk Buah Lai, baru kembali ke Homestay.






                Malamnya setelah makan malam di Homestay kami berkunjung ke Sekretariat Pokdarwis Linggang Melapeh untuk sharing tentang ke Pariwisataan, mulai dari segi Budaya, Guide dan lainnya. Pokdarwis Linggang Melapeh sedang sibuk dengan beberapa program yang ada, mulai dari menghidupkan kembali aktifitas budaya di Lamin Melapeh, yakni melakukan latihan menari setiap hari sabtu dan menganyam setiap hari minggu siang (setelah Ibadah di Gereja). Selain itu mereka juga sedang mempersiapkan jalur tracking menuju Gunung Eno. Dari Kuliner, sejumlah kelompok petani kopi sedang mempersiapkan kopi robusta asli Linggang Melapeh untuk di jual secara missal, kemasan nya pun sudah standard dan diharapkan kualitas kopi lokal bisa memberi efek positif bagi perekonomian warga. Dari hasil rapat malam itu, pihak WWF akan mencoba kesiapan Pokdarwis dalam hal menjual paket wisata, dari Guiding, menganyam, kuliner hingga jasa Betimung (Mandi Uap dengan rempah – rempah asli dari Desa Linggang Melapeh). Dan besok pagi kami akan bertindak selaku tamu yang sudah memesan beberapa paket wisata dari Pokdarwis yang juga bekerjasama dengan beberapa elemen masyarakat seperti penganyam, Sanggar Tari, Pemandu lokal dan sebagainya.

Day 6 :
                Pagi hari setelah sarapan di Homestay kami langsung pamit kepada tuan rumah. Karena setelah kunjungan ke Lamin Linggang Melapeh kami akan meneruskan perjalanan menuju Ujoh Bilang, Kabupaten Mahakam Ulu. Jam 8 pagi kami dijemput pemandu lokal dari Pokdarwis Linggang Melapeh, ada 2 pemandu lokal, salah satunya Elsa. Elsa terlihat komunikatif walau sedikit grogi karena menjadi pengalaman perdana selaku pemandu lokal. Kami menuju Lamin dan melihat beberapa aktifitas warga yang sedang menganyam aksesoris Suku Dayak Tunjung, mulai dari busana, anjat hingga tas rotan. Kami juga mencicipi beberapa kuliner khas warga sekitar salah satunya adalah semacam kue yang mirip dengan dodol. Kami juga berkesempatan melihat proses mandi uap (Betimung) dan melihat beberapa rempah – rempah yang digunakan. Ternyata beberapa ibu – ibu cukup familiar dengan nama – nama rempah, tidak hanya dengan nama lokal, Indonesia tapi juga hapal dengan Inggris dan nama latin. Luar biasa… Terakhir ada foto session dengan warga setempat untuk bahan promosi serta melhat prosesi mandi uap yang disini disebut Betimung. Mandi uap disini kurang lebih sama dengan mandi uap di beberapa daerah lain, bahan – bahannya (rempah – rempah) pun berbeda tergantung dengan peruntukannya. Misalnya pada budaya adat perkawinan, pengobatan, kecantikan, dan lain sebagainya. Orang yang akan betimung cukup duduk di sebuah bangku khusus, lalu sebuah panci besar yang berisikan dedauan herbal yang sudah direbus dengan air mendidih akan di taruh di bawah tempat duduk. Lalu ditutup melingkar dengan tikar yang terbuat dari rotan, atasnya cukup ditutup dengan kain biasa. Sekitar 5 – 10 menit keringat akan segera keluar dan badan berbau harum karena terkurung (miripnya seperti dikukus) dalam sebuah ruang kecil yang hanya di sekat dengan tikar daun dan ditutup dengan kain biasa. Simpel dan menyegarkan. 














Kami pamit kepada warga Melapeh khususnya Pokdarwis Melapeh atas jamuannya saat itu, kami akan meneruskan perjalanan menuju Ujoh Bilang (Kabupaten Mahakam Ulu) untuk agenda selanjutnya.

Tujuan kami  adalah Tering, perjalanan darat akan di teruskan dengan perjalanan air, yakni menggunakan Speed Boat. Speed Boat memakan waktu sekitar 3 jam melalui Sungai Mahakam. Di pertengahan jalan motoris akan merapat di warung terapung yang ada di Desa Datah Bilang untuk istirahat sebentar. Kebanyakan penumpang ada yang menyempatkan untuk ngopi maupun makan siang. Sekitar 30 menit, perjalanan kembali di lanjutkan. Pemandangan hutan yang masih lebat dan pemukiman di sisi sungai menjadi santapan mata di sepanjang perjalanan. 








Salah satu momen yang dinantikan adalah saat akan melintasi Batu Dinding di kawasan Kampung Melaham. Batu Dinding atau yang biasa di sebut denagn Batoq Teneveng / Bateu Teneveng oleh warga sekitar memiliki ketinggian 100 meter dengan panjang hamparan 800 meter. Di Batu Dinding ini juga terdapat beberapa Makam Tua yang berbentuk Lungun (Peti Mati) di sebuah pondok kecil yang terbuat dari kayu / kulit kayu/ Biasanya makan seperti ini di peruntukan untuk Raja atau Kepala Suku. Dari beberapa informasi lain mengatakan di kawasan Dinding Batu ini juga, terdapat makam Habib, namun masih belum jelas kebenarannya.



Puas mendokumentasikan dan memandang keindahan sekaligus keajaiban ala mini kami terusan perjalanan, dan sekitar 30 menit akhirnya sampai di Ujoh Bilang. Kami menuju Penginapan Descha Mahulu untuk bermalam. Malamnya kami bertemu dengan Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Mahakam Ulu, Ibu Tening, di Kediamannya. Pertemuan santai malam itu berjalan dengan baik dan penuh dengan antusias dari kedua pihak, walau di ganggu dengan padamnya listrik. Ternyata sepanjang malam hingga subuh hari pemadaman listrik ini ibarat lampu jalan, sebentar hidup, lalu mati lagi.

Day 7 :
                Kami terbagi dalam 2 tim, tim pertama berangkat lebih dulu ke Desa Batu Majang, sedangkan sisanya akan menyusul siang hari. Tujuan pertama kami adalah Desa Long Bagun yang di sisi ulu Desa Ujoh Bilang dan bisa di tempuh dengan akses darat. Dengan 3 buah sepeda motor kami menuju kediaman pak Daniel Sang dan Maria Unyang, pasangan suami istri yang membuat kerajinan tangan khas Dayak Mahakam Ulu. Di kediaman kami diterima oleh Ibu Maria Unyang yang lalu mempersilahkan kami untuk melihat – lihat proses pembuatan kerajinan tangan saat itu yang kebetulan sedang di kerjakan langsung oleh suaminya, Pak Daniel. Kerajinan tangan semuanya di buat dengan tradisional tanpa peralatan canggih, ada dompet, anjat, tempat sirih, tas, dan masih banyak lagi. Semua dengan motif anyaman yang rapi dan warna dari kombinasi manik yang menarik. Harganya pun beragam tergantung kesulitan, bahan dan lama pengerjaan. Mulai dari 150 ribu hingga 600 ribu rupiah. Produk mereka banyak di order oleh toko – toko souvenir yang berada di kota besar, mulai dari Melak (Kabupaten Kutai Barat), Samarinda, Balikpapan hingga antar Provinsi bahkan luar Pulau. Dari kediaman Pak Daniel kami menuju base Giham di Ujoh Bilang, salah satu Komunitas Pencinta Arus Deras. Kami akan bersama – sama menuju Batu Majang untuk mencoba salah satu spot di Sungai Alan untuk olahraga air, Kayak.










Dengan ketinting kecil kami menuju Batu Majang sekitar 20 menit dari Ujoh Bilang. Batu Majang merupakan Desa yang di huni mayoritas oleh Suku Dayak Kenyah, dan memiliki Pokdarwis yang saat ini dibantu oleh WWF sebagai mitra / pendamping. Kami pun mulai menyusuri sungai alan yang dihiasi dengan bebatuan besar di sisi sungai dan karangan di tengah sungai. Semakin dalam pemandangan semakin memukau dengan dataran tinggi di kejauhan. Kami sampai di spot dan teman – teman dari Giham langsung mempersiapkan Kayak dan memantau medan terlebih dahulu, sedangkan kami menunggu dari sisi sungai di bebatuan besar. 2 orang lalu mulai menyisiri sungai untuk menuju spot start awal. Saat semua sudah siap lalu test spot dengan kayak pun di mulai, cukup seru walau selesai hanya dengan hitungan menit. Survey spot ini dilakukan sebanyak 2 kali lalu kami ngobrol santai sambil menunggu seksi konsumsi selesai menyiapkan menu pengisi perut yang mulai keroncongan. 


















Tanpa terasa hari mulai gelap, kami mampir sebentar di Desa Batu Majang dan kembali Ke Ujoh Bilang.

Day 8 :
                Destinasi terakhir yang akan kami datangi adalah Desa Laham, Kecamatan Laham, Mahakam Ulu. Salah satu daya tarik pariwisata yang akan kami explore adalah dari sisi religious. Laham merupakan salah satu Desa pertama di Kalimantan Timur yang di singgahi Misionaris Katolik dari Pontianak di tahun 1907, hingga akhirnya berdirilah sebuah sekolah Katolik pertama di Kalimantan Timur. Dari Ujoh Bilang kami kembali menyurusi sungai mahakam dengan menggunakan speed Boat, perjalanan memakan waktu sekitar kurang lebih 1,5 jam. Kami mengunjungi Petinggi Kampung Laham terlebih dahulu untuk ijin dan silahturahmi. Kami disambut dengan baik dan beristirahat sebentar di rumah beliau. Setelah makan siang kami bersama – sama menuju kediaman Pastor setempat, Yohanes Habing Lawai, Pr. Di kediaman Pastor kami ngobrol santai tentang maksud kedatangan kami, dan Alhamdulillah disambut dengan hangat. Selepas perbincangan singkat kami diajak mengunjungi Taman Doa dan juga Makam Misionaris pertama yang meninggal di Laham karena sakit. 










Selepas itu kami kembali ke rumah Petinggi untuk mempersiapkan barang dokumentasi untuk selanjutnya mengexplore Sungai Ratah yang berada tidak jauh dari Kampung Laham dengan menggunakan ketinting kecil. Kami mencoba mengambil dokumentasi wildlife yang ada di sepanjang perjalanan, khususnya di Sungai Ratah. 



Kami menyisiri sungai ratah hingga memasuki spot riam pertama. Kami tidak bisa masuk lebih jauh lagi karena waktu dan juga ketinting yang kami muati terlalu over load, sehingga kami berhenti di sisi teluk untuk istirahat sambil menikmati pemandangan di Sungai Ratah yang mempesona sambil ngopi. Sungai Ratah juga menyimpan potensi dimana ada kelompok kecil Pesut Mahakam yang berada di salah satu lokasi yang di keramatkan warga, tepatnya di Nyarubungan. Sore hari kami kembali ke Laham sambil mendokumentasikan wildlife yang ada, seperti Burung Kengkareng Hitam, Raja Udang Meninting, dll.













Day 9 :
                Hari terakhir kami kembali ke Tering lalu menuju base WWF di Barong Tongkok dan kembali ke Samarinda. Assesment awal sudah kami selesaikan, tinggal melengkapi data untuk tahap selanjutnya. 

               



Comments