Kutai Kartanegara Culture & Wildlife Trip Bersama John & Karen (12 s/d 16 Oktober 2017)


            Ini kali ke dua saya memandu John & Karen, sebelumnya mereka melakukan trip menyusuri sungai mahakam menggunakan kapal wisata dari Tenggarong menuju Muara Muntai  & Melak (Kabupaten Kutai Barat). Kali ini mereka saya ajak mengunjungi Desa Budaya Kedang Ipil (Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara) serta menyusuri sungai mahakam selama 2 hari untuk wildlife fhotography, mencari Lumba – lumba air tawar sungai mahakam, Pesut Mahakam, dan melihat aktifitas warga yang kami temukan di sepanjang perjalanan.

Day 1 :
Jam 10 Pagi saya menuju Balikpapan untuk menjemput John & Karen, perjalanan cukup lancar dan kami tiba sekitar pukul 12.20 wita. Setelah barang – barang sudah di muat di mobil perjalanan kami lanjutkan menuju Tenggarong, lalu menuju Desa Kedang ipil, dan memakan waktu sekitar 5 jam. Setibanya di Kedang Ipil, mobil kami tidak bisa masuk kedalam, karena sedang ada Pasar Malam, sehingga kami harus berjalan kaki sambil melihat aktifitas warga yang jual beli di Pasar Malam. John & Karen nampak menikmati suasana pasar malam, sambil sesekali berhenti untuk melihat dagangan. Kami mampir di Homestay Bu Tamti, dan kebetulan ada kamar kosong, sebelumnya kami berniat untuk menuju rumah Kepala Desa Kedang Ipil, Pak Kuspa. Setelah pasar malam selesai, mobil bisa masuk dan barang – barang kami pindahkan ke homestay. Beberapa teman dari Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Dewi Karya menyambut kami dengan ramah dan ngobrol – ngobrol di teras depan. Setelah makan malam siap, kami makan bersama tuan rumah dengan menu tradisional. Ada sayur bening, ikan asin, telur goreng, sambal, kerupuk gandum dan beberapa oseng – oseng sayuran. Kami makan dengan lahap sambil ngobrol ringan.

Setelah makan malam kami menuju Balai Adat Desa Kedang Ipil untuk melihat latihan tari, Desa Kedang Ipil akan mengadakan Festival Budaya Kutai Adat Lawas bulan depan, tepatnya pada tanggal 17 s/d 20 Nopember. Ada puluhan anak – anak SD, SMP & SMA latihan menari bersama – sama. Beberapa tarian yang dibawakan adalah Tari Kolosal, Tari Jepen & Tari Pandara. Pandara merupakan sebuah legenda / dongeng yang pernah tejadi di Desa Kedang Ipil di waktu yang lampau. Pandara adalah sebuah nama wanita cantik yang menjadi rebutan para pria di desa, saking cantiknya banyak perkelahian yang berujung kematian untuk memperebutkan hati sang Pandara. Warga desa yang kesal karena banyak korban untuk memperebutkan Pandara akhirnya menangkap dan memasukan Pandara di sebuah ruang di dalam tanah secara hidup – hidup dan memberi bekal makanan untuk bertahan hidup. Bu Tamti mengatakan lokasi tempat memendam Pandara masih ada di sekitar desa, tepatnya di daerah yang sudah menjadi area sebuah perusahaan kelapa sawit. Para penari nampak begitu antusias berlatih menari dengan instruktur tari yang juga berasal dari desa kedang ipil. Sekitar pukul 23.00 latihan selesai dan kami kembali ke homestay untuk beristirahat.




Day 2 :
            Pagi hari kami jalan – jalan di desa, John & Karen saya ajak untuk melihat salah satu aktifitas warga yakni mengambil air dari Pohon Aren yang biasanya di lakukan 2 kali sehari, di pagi dan sore hari. Salah satu warga bernama A’u dengan ramah menerima kedatangan kami di salah satu pondok kecil yang dijadikan tempat untuk membuat gula merah. Kebetulan tadi pagi dia sudah mengambil air dari pohon aren dan sedang memproses air aren menjadi gula merah. Dengan wajan besar yang pembakarannya menggunakan kayu bakar, bisa menampung beberapa liter air aren. Sedangkan air aren di tampung di sebuah wadah dari bambu ukuran besar yang menampung tetes demi tetes air yang di keluarkan dari pelepah pohon aren dalam rentang waktu 10 jam. Proses pembuatan gula aren tergantung tingkat suhu panas, semakin panas maka proses akan semakin cepat. Biasanya Om A’u membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk membuat air mengental lalu di tuangkan di cetakan gula merah yang mirip seperti batangan emas, namun dengan ukuran yang lebih besar dengan berat sekitar 1 kg. Dalam proses pembuatan gula merah saat air aren di panaskan perlu beberapa langkah tambahan, yakni membuang sebagian busa yang disebabkan saat air aren mulai mendidih, jika tidak di kurangi maka akan berpengaruh kepada rasa gula merah itu sendiri. Rasa air aren yang mulai mendidih juga patut di coba karena rasanya lebih gurih dan nikmat daripada sebelum di panaskan. Pembuatan gula merah di Desa Kedang Ipil tidak menggunakan tambahan apa pun, murni 100% dari air pohon aren. Harganya berkisar sekitar 20 hingga 22 ribu per batang.











Kami lanjutkan berkeliling di Desa Kedang Ipil sambil menunggu proses pembuatan air aren menjadi gula merah akan memasuki tahap akhir. Beberapa aktifitas warga yang kami temukan berikutnya adalah pembuatan tusuk sate yang mayoritas di kerjakan oleh kaum hawa. Di dekat salah satu sekolah dasar dan PAUD, sekitar 10 orang ibu – ibu asyik membuat tusuk sate yang bahan dasarnya dari bambu. Tusuk sate ini biasanya di jual seharga 14 ribu rupiah per 1000 tusuk sate. Bambu yang sudah di potong sesuai ukuran tusuk sate akan dijemur hingga kering untuk menghilangkan bau dan juga supaya mudah diproses, lalu di raut secara manual menggunakan pisau kecil. Sebagian kecil warga ada juga yang menggunakan alat untuk memudahkan proses raut dan cukup simple digunakan sehingga menghemat waktu serta ukuran tusuk sate lebih beragam. Meraut tusuk sate secara manual butuh keahlian dan ketelitian yang cukup, jika terlalu tipis maka tusuk sate tidak layak untuk di jual. Sedangkan alat yang digunakan terbuat dari plat besi dengan 3 buah lubang yang berfungsi menghaluskan sisi – sisi bambu yang tajam, menggunakannya pun cukup mudah. Cukup masukan potongan bambu sesuai diameter lubang lalu di pukul menggunakan palu yang terbuat dari kayu secara perlahan sambil memegang sisi bagian tengah tusuk sate supaya tidak bengkok atau malahan patah saat di pukul. John & Karen nampak senang berinteraksi dengan warga sambil mengambil beberapa dokumentasi. Kami kembali ke homestay untuk sarapan pagi lalu menunggu panggilan om A’u untuk melihat proses akhir pembuatan gula merah. Sarapan pagi ini cukup simple, nasi goreng dengan telur mata sapi dan kerupuk gandum. John & Karen menambahkan beberapa potongan buah naga dan mangga untuk sarapan paginya. Tidak lama setelah sarapan pagi, om A’u datang untuk memberitahukan bahwa air aren yang di didihkan sudah siap untuk di tuangkan ke cetakan gula merah. Kami bergegas ke pondok om A’u untuk melihat proses tersebut. Wajan diangkat dari pembakaran dan di taruh di wadah yang terbuat dari ban bekas. Air aren yang sudah mengental lalu di aduk – aduk lagi supaya merata hingga mulai mengental saat suhu panasnya mulai berkurang, lalu di tuangkan di cetakan yang terbuat dari batang kayu dengan 5 buah lubang cetak gula merah. Proses berikutnya tinggal menunggu air aren yang mengental menjadi keras dan berubah menjadi gula merah, sehingga tinggal packing dan siap di jual. Salah satu yang saya tunggu adalah mencicipi gula merah yang tertinggal di wajan, sisa gula merah itu biasanya di jadikan cemilan untuk di rumah alias tidak di proses menjadi cemilan komersil. Emm… rasanya enak dan gurih sekali. Semua gula aren yang dibuat hari itu langsung kami beli untuk oleh – oleh dan juga sebagai bahan pelengkap masakan di rumah.

Setelah melihat proses pembuatan gula merah kami menuju Air Terjun Kandua Raya yang sering di kunjungi pengunjung domestic di akhir pekan. Jaraknya sekitar 1,4 km dari pos masuk, pengunjung bisa berjalan kaki melewati jalur tracking yang ada sambil melihat pemandangan hutan desa di sepanjang jalan. Jasa ojek juga bisa anda coba saat weekend, bagi yang sudah merasa lelah untuk kembali dengan berjalan kaki. John & Karen lebih memilih berjalan kaki sambil melihat hutan desa dan mendokumentasikan beberapa hal yang menarik yang bisa ditemukan di perjalanan, seperti kupu – kupu, serangga dan lainnya. Sesampainya di Kandua Raya kami tidak sabar untuk menikmati segarnya aliran air, masing – masing mengambil spot masing – masing untuk mandi, berenang, berendam maupun santai sambil melihat rindangnya pepohonan yang ada di sepanjang sisi aliran air terjun.




Puas di Kandua Raya kami kembali ke Desa untuk makan siang, selain itu saya ada agenda lain, yakni presentasi tentang Tour Guide / Pemandu Wisata bagi kawan – kawan Pokdarwis Dewi Karya, bekerja sama dengan tim CSR PT DPM. Hal ini semoga bisa memberi tambahan wawasan tentang dunia Guiding & memotivasi kawan – kawan untuk bisa menjadi Guide yang mumpuni. Di akhir presentasi saya meminta kesediaan bagi tamu saya untuk memberi tanggapannya selama trip di Desa Kedang Ipil, dan Alhamdulillah tanggapannya sangat baik dan merasa terkesan dengan keramah tamahan warga desa. Melihat aktifitas warga sehari – hari menjadi kesan yang mendalam bagi mereka, khususnya proses pengambilan air aren dan membuat gula merah. Setelah acara presentasi selesai kami berfoto bersama di depan Balai Adat Desa dan pamit, karena kami harus menuju Kota Bangun untuk agenda trip berikutnya. Kami tiba di Kota Bangun sekitar menjelang waktu Isya, lalu makan malam dan beristirahat di Penginapan Mukjizat yang selalu menjadi tempat menginap favorit selama kunjungan di Kota Bangun.






Day 3 :
Pagi hari saya pergi untuk mencari sarapan pagi, target cuma satu, yakni nasi kuning kota bangun yang terkenal numero uno, saya menuju arah ulu dari penginapan tepatnya di simpang 3 saat akan memasuki kota bangun. Kita bisa sarapan di warung kecil ini atau bisa bungkus dan makan di penginapan sambil melihat pemandangan sungai mahakam dari top deck di belakang penginapan. Saya memilih bungkus karena John & Karen masih belum keluar kamar saat itu, setelah mereka satu persatu keluar kamar sarapan saya serahkan makan bersama. Kemudian kami bersiap – siap untuk menyusuri sungai mahakam dengan ketinting, tujuan kali ini adalah untuk menemukan pesut mahakam sekaligus mendokumentasikan satwa liar yang bisa di temukan di sepanjang perjalanan, biasanya beberapa jenis burung, mulai dari jenis Kuntul Kecil (Egretta garzetta / Little Egret), Kuntul Besar (Egretta alba / Great egret), Blekok Sawah (Ardeola speciosa / Javan Pond heron) Bangau Tongtong (Leptoptilus javanicus / Lesser Adjutant), Elang Bondol (Haliastur Indus / Brahminy Kite) hingga primata seperti Lutung. Jam 7.30 pagi kami start dari kota bangun dan menuju arah ilir sungai mahakam, tujuan kami ke arah Muara Kaman hingga simpang 3 di dalam Sungai Kedang Rantau. Kami beruntung, ada 1 ekor Pesut Mahakam muncul saat kami menunggu di Muara Sungai Pela. Agak susah memang mendokumentasikan di saat itu, hanya 1 ekor yang muncul dengan posisi yang berbeda dan jauh pula. 22 menit berlalu kami memutuskan lanjut memasuki Sungai Pela untuk mencari kelompok Pesut Mahakam yang lain. 









Beberapa jenis burung tak lepas dari jepretan kamera John yang membawa lensa tele 400mm. Di sepanjang perjalanan John & Karen tak sungkan untuk menyapa ataupun melambaikan tangan kepada warga yang memandangi mereka sambil tersenyum. Sampai di Muara Danau Semayang kami tidak berhasil menemukan Pesut Mahakam, dari beberapa informasi nelayan yang kami temui, mereka ada melihat kelompok Pesut Mahakam menuju Muara Danau Semayang sebelumnya. Menemukan Pesut Mahakam di Danau Semayang bukan perkara mudah, dengan luas 13.000 Ha, kecil kemungkinan kita bisa menemukan mereka. Hingga akhirnya kami memutar arah dan tetap dengan tujuan awal, menuju Muara Kaman dan berharap bisa menemukan Pesut Mahakam di sepanjang perjalanan hingga memasuki Sungai Kedang Rantau. Kami mampir sebentar di salah satu rakit di Desa Pela untuk melihat warga yang membersihkan ikan yang selanjutnya akan di jadikan ikan asin.




Saat kami akan mampir di salah satu rakit di Desa Sangkuliman untuk membeli air mineral tiba – tiba ada kelompok pesut mahakam muncul di depan rakit. Ada setidaknya 5 ekor yang muncul secara bersamaan di 3 titik. Kami langsung bergegas mengikuti kelompok ini yang menuju ke arah Muara Danau Semayang. Kali ini agak lebih mudah mendokumentasikan pesut mahakam, masing – masing sibuk mendokumentasikan dengan kamera. Perjumpaan ke dua kami dengan pesut mahakam kali ini memakan waktu sekitar 40 menit sebelum akhirnya mereka menghilang di muara danau semayang. Perjalanan kami teruskan, keluar dari Sungai Pela dan menyusuri sungai mahakam kembali ke arah ilir.




11.38 kami tiba di Muara Kaman dan istirahat sebentar sambil makan siang di warung Om Agus di Pusat Kota Muara Kaman, tepatnya samping sungai depan rumah dinas camat, Pak Sopyan Agus (He he…). Menu hanya ada 1, nasi campur. Cuaca yang panas sepanjang jalan, membuat kami dehidrasi dan memesan minuman yang dingin, dan tidak lupa membeli beberapa minuman ber ion untuk bekal kami di ketinting. Setelah makan siang kami memasuki Sungai Kedang Rantau di ulu Muara Kaman.

Plan untuk mengunjungi situs Kerajaan Hindu tertua di Gunung Brubus, Muara Kaman Ulu kami skip, karena John & Karen nampak ingin menikmati lebih banyak suasana sungai kedang rantau sambil menunggu di salah satu spot untuk birdwatching. Keberuntungan terus mendatangi kami, kami bertemu lagi dengan kelompok pesut mahakam sekitar pukul 14.02 yang memasuki sungai kedang rantau. Kali ini jumlahnya ada sekitar 5 – 7 ekor, lebih banyak dari perjumpaan sebelumnya. Momen emas ini kami manfaatkan untuk mendokumentasikan kembali sebaik dan sebanyak banyaknya, terutama bagi saya sendiri. Karena sirip punggung pesut mahakam seperti sidik jari bagi manusia, hampir sama tapi berbeda – beda dan sebagai acuan untuk identifikasi individu yang manakah saat itu terdokumentasi. Sekitar 21 menit berlalu kelompok itu tampak memencar, ada yang ke arah ulu dan ilir, berputar – putar di satu titik dan lain – lain. Kami kehilangan jejak kembali saat memasuki simpang 3 menuju Sabintulung – Tunjungan. Kami memilih salah satu spot di sisi sungai untuk istirahat sambil memberi waktu lebih kepada John yang asyik mendokumentasikan beberapa jenis burung yang ada di atas pohon dari kejauhan, seperti Pecuk ular asia (Anhinga melanogaster / Oriental Darter)  dan Bangau Tong tong. 











Pukul 16.00 kami kembali ke kota bangun, beberapa kelompok Lutung berhasil di temukan yang berkumpul di atas pohon Kedemba. Beberapa jenis burung yang kami temukan adalah : Burung Pekaka Emas (Pelargopsis capensis / Stork-billed Kingfisher), Cangak merah (Ardea purpurea / Purple Heron), Kengkareng perut putih (Anthracoceros albirostris / Oriental Pied Hornbill), Sempur hujan sungai (Cymbirhynchus macrorhynchos / Black-and-red Broadbill), Layang – layang Api (Hirundo rustica / Barn Swallow) & Kirik-kirik laut (Merops philippinus / Blue-tailed Bee-eater). Kami tiba di Kota Bangun saat menjelang memasuki waktu maghrib dan menginap semalam di Penginapan Mukjizat kembali.








Day 4 :
Setelah sarapan pagi (tentunya dengan menu tradisional, nasi kuning kota bangun) kami kembali menyusuri sungai mahakam, namun kali ini menuju arah ulu sungai mahakam hingga Muara Muntai. Sebelum menuju arah ulu kami mengecek dulu di Sungai Pela untuk menunggu Pesut Mahakam. Di Muara sungai tidak ada tanda – tanda munculnya pesut mahakam sehingga kami memasuki lebih dalam. Di sungai pela ada beberapa nelayan yang sedang beraktifitas, salah satunya Om Jurni, nelayan dari Desa Liang yang selalu menangkap ikan dengan metode menjala. Om Jurni saat itu sedang ngobrol di tengah sungai diatas perahu dengan salah satu pengumpul ikan yang membeli hasil tangkapan nelayan setempat. Om Jurni baru mendapatkan 1 ekor patin jumbo (Pangasius Djambal) ukuran sedang (3 – 4 kg) dan langsung di jual kepada pengumpul ikan tersebut dengan kisaran 20.000 per kg. Kami berkesempatan melihat om Jurni menjala setelah itu, namun hanya beberapa ekor ikan kecil yang didapat, seperti ikan Lancang, dan ikan Sebelah (silakan cek di blog saya lainnya yang khusus untuk koleksi foto ikan sungai mahakam yang di sertai dengan nama latin, www.ikansungaimahakam.blogspot.com). Saat musim ikan om jurni bisa mengantongi uang sekitar 500.000 perhari dari hasil menjala saja. Usaha om Jurni patut di acungi jempol, di tengah maraknya illegal fishing seperti penangkapan ikan dengan menggunakan racun / potas ataupun strum, om jurni tetap dengan menjala. Beberapa kelompok burung dara laut nampak mendominasi di sisi sungai, kebanyakan hinggap di beberapa batang bambu maupun perangkap ikan yang menggunakan jala. Kondisi Danau Semayang saat itu sedang bergelombang karena ada hembusan angin dari bagian utara, sehingga jika kami mengambil rute ke danau terlebih dahulu sangat tidak memungkinkan dan berbahaya. Gelombang di tengah danau sangat di takuti oleh siapapun yang biasa melintas di daerah tersebut. Kami putar arah dan menuju Muara Muntai melalui sungai mahakam.




Persinggahan kami selanjutnya adalah pembuatan badan ketinting di Kota Bangun Seberang. Saat itu mereka sedang menyelesaikan sekitar 7 perahu dengan ukuran dan jenis papan dari kayu yang berbeda pula, dan sedang bersiap – siap menurunkan ketinting dari dock. Kebanyakan perahu terbuat dari papan kayu Benggeris, ada yang panjangnya sekitar 6 hingga 9 meter. Adapun ketinting yang berukuran 6 meter dihargai sekitar 6 juta dan yang 9 meter sekitar 9 juta, bisa di bilang 1 juta per meter untuk pembuatan ketinting. Perahu dengan 6 meter bisa di selesaikan sekitar 1 minggu dan yang 9 meter sekitar 2 minggu, masing – masing di kerjakan oleh 1 orang. Sedangkan untuk pengecatan dilakukan oleh anak – anak muda yang masih sekolah di bangku SMP / SMA dengan upah sekitar 150.000 – 200.000 per perahu. Kebanyakan pembeli ketinting adalah dari desa maupun kecamatan sekitar seperti Muara Kaman, Muara Wis hingga Muara Muntai. 1 jam melihat aktifitas pembuat ketinting kami meneruskan perjalanan.










Beberapa burung dan primata mulai kami dokumentasikan, seperti Bubut Alang-alang (Centropus bengalensis / Lesser Coucal), Monyet ekor panjang (Macaqa macaqa) & Bangau Tongtong. Disaat kami asyik mendokumentasikan monyet ekor panjang darwis melihat ada beberapa Pesut Mahakam muncul di kejauhan, kami mendekati secara perlahan dan mulai mendokumentasikan mamalia tersebut yang kini jumlahnya terus menurun (populasi sekitar 74 – 75 ekor, source dari YK RASI, 2016). Pesut mahakam nampak bermain – main dan terlihat ada beberapa anak pesut mahakam berenang bersama anak pesut yang lain, di ikuti oleh beberapa pesut dewasa atau induknya. Mereka terpencar di beberapa titik namun cenderung perlahan – lahan arahnya semakin ke hulu. Kurang dari 1 jam kami terus memantau pergerakan pesut mahakam ini hingga, perjumpaan kali ini cukup bagus, karena pesut mahakam nampak lebih aktif dan seringkali muncul dengan beberapa individu yang lain sehingga lebih mudah di dokumentasikan. 










Kami meninggalkan kelompok pesut mahakam ini untuk makan siang di Muara Muntai, sedangkan perjalanan masih jauh dan masih ada beberapa tempat yang musti kami kunjungi. Beberapa jenis burung lain yang kami temukan saat menuju Muara Muntai ada Pelatuk Besi (Dinopium Javanese / Common Goldenback), Kerak Kerbau (Acridotheres javanicus / Javan Myna), Kengkareng Perut Putih, dan beberapa burung umum lainnya. Pukul 14.25 kami tiba di Muara Muntai dan istirahat untuk makan siang.






15.00 kami meninggalkan Muara Muntai menuju Desa Melintang yang ada di tengah Danau Melintang via Sungai Rebaq Dinding. Ada 2 ekor elang yang kami temukan saat melintas di sungai kecil tersebut, satu di desa Rebaq Dinding (belum diketahui identifikasinya), kemungkinan sudah di pelihara sejak kecil sehingga jinak dan tidak di ikat dengan tali. Satu ekor lagi berada di tengah danau, kemungkinan besar Elang Hitam (Ictinaetus malayensis / Black Eagle). Di Desa Melintang kami mampir di Agen besar yang memproduksi ikan asin untuk selanjutnya di jual ke Pulau Jawa, dan berjalan – jalan di kampung sebelum kembali ke Sungai Pela melalui Danau Melintang & Semayang. 










16.56 kami tiba di Sungai Pela dan bertemu kembali dengan Pesut Mahakam, kami hanya menyempat sekitar 10 menit untuk mendokumentasikan momen tersebut dan harus buru – buru kembali ke Kota Bangun untuk selanjutnya kembali ke Balikpapan.







Comments

Post a Comment