Mahakam River Crossing Journey (Bersama Utie, Des 2018)

            Sekitar jam 9 pagi Utie mendarat di Bandara Sultan Aji Sulaiman di Kota Balikpapan, mereka saya jemput dan langsung berangkat menuju Kuyung untuk selanjutnya berganti ke transportasi air menuju Muara Muntai. Perjalanan berjalan lancar dan memakan waktu sekitar 6 jam dengan mobil dan 30 menit dengan Ketinting. Sebelumnya kami berhenti di Warung Makan Mira di Tenggarong untuk makan siang dengan menu khas setempat, ikan patin bakar dan udang sungai goreng. Di Muara Muntai kami menginap di Penginapan Abadi, satu – satunya penginapan di Muara Muntai yang menyediakan kamar dengan AC, harganya memang di atas rata – rata harga kamar umum, namun fasilitas yang kita dapat sebanding dengan yang kita keluarkan. Malam hari kami berjalan – jalan di pusat Kecamatan Muara Muntai Ulu sambil mencari makan malam. Yang unik di kawasan perbelanjaan di Muara Muntai Ulu, saat malam hari kebanyakan toko – toko disana baru buka saat setelah selesai waktu sholat isya. Jalan desa pun semuanya terbuat dari Jembatan Kayu Ulin yang menghubungkan Muara Muntai Ulu dengan desa sekitarnya seperti Rebaq Dinding, Muara Muntai Ilir dan Kayu Batu. Bentangan jembatan kayu ini sangat panjang sekali, puluhan kilometer. Setelah makan malam kami kembal ke Penginapan dan beristirahat.






            Pagi harinya, setelah sarapan nasi kuning kami bergegas menuju jetty yang ada di dekat penginapan untuk selanjutnya menggunakan ketinting menuju Desa Mancong & Tanjung Isuy yang letaknya berada di sisi Danau Jempang. Untuk Desa Mancong sendiri kita harus memasuki rawa serta anak sungai kecil. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 8 jam, PP. Kami memutari Pulau Harapan dahulu yang berada di seberang Muara Muntai untuk melihat suasana kampung dari sisi sungai mahakam, sambil mencari Pesut Mahakam. Sayang kami belum beruntung menemukan satwa langka tersebut saat itu sehingga kami teruskan menuju Danau Jempang. Kondisi Danau saat itu air sungai mahakam mulai surut dari pasang besar 2 minggu lalu. Namun hembusan angin cukup kencang (sekitar 0,5 m) sehingga cukup menyulitkan perjalanan kami. Pantat puluhan kali serasa terhempas akibat perahu yang menabrak gelombang walaupun kami sudah memakai bantal duduk di perahu. Saat memasuki Desa Jantur keadaan sungai mulai normal kembali. Desa Jantur sama seperti Muara Muntai dan terbagi menjadi beberapa desa. Suku Banjar dari Kalimantan Selatan mayoritas mendiami desa nelayan tersebut. Kalau  Muara Muntai ada di sisi sungai mahakam, Desa Jantur ada di tengah Danau Jempang yang merupakan Danau terbesar ke 6 di Indonesia dengan luas sekita 15.000 Hektar. Setelah Desa Jantur kami memasuki Desa Ohong yang berada di sisi Danau, lalu memasuki jalur kecil yang di himpit dengan pepohonan dan enceng gondok. Jalur menuju sungai kecil untuk masuk ke Desa Mancong ternyata tertutup tanaman air sehingga kami musti membatalkan perjalanan ke Mancong via sungai, walau ada jalur alternatif yang sudah di buat warga dan motoris yang kebanyakan membawa tamu ke Mancong sebelumnya. Namun karena air terlalu surut cukup membahayakan perahu karena rentan tertabrak tanggul pohon yang banyak di dasar, kami langsung putar arah dan menuju Desa Tanjung Isuy.
























Kami melewati Desa Tanjung Jone yang didiami mayoritas oleh Suku Bugis dari Sulawesi. Tidak lama kemudian kami tiba di Tanjung Isuy dan makan siang di warung warga setempat. Berhubung Takashi ingin sekali ke Mancong maka kami mencari alternatif lain, yakni mencari rentalan mobil untuk menuju Desa Mancong via darat. Kami berhasil menemukan rentalan mobil setelah makan siang lalu berangkat menuju Desa Mancong yang jaraknya ternyata cukup dekat dari Tanjung Isuy, yakni cukup dengan waktu sekitar 30 menit kami tiba di Desa Mancong. Kondisi jalan memang tidak mulus, banyak jalan aspal yang sudah mulai terkelupas, berlubang serta jalan tanah yang bergelombang. Akhirnya kami sampai di Desa Mancong dan langsung parkir tepat di depan lamin. Warga desa Mancong baru saja merayakan Natal sehari yang lalu, hal ini terlihat dengan masih berdirinya tenda di depan lamin. Kami lalu berkeliling di dalam lamin untuk melihat interior yang kebanyakan berhiaskan puluhan tengkorak kerbau yang sudah di korbankan saat acara Kwangkai. Sedangkan lantainya beralaskan kayu ulin dan tepat di tengah di desain agak renggang untuk bisa melihat kondisi di bawah lamin. Ada beberapa kamar di dalam lamin namun sudah jarang untuk di diami baik oleh warga maupun wisatawan. Di lantai atas pun sama. Sedangkan di depan lamin puluhan Patung Blontang berjejer memanjang di sepanjang halaman lamin. Hal ini sama dengan tengkorak kerbau yang ada di dalam lamin, menandakan sudah berapa kali diadakannya acara Kwangkai yang di akhiri dengan di tandai dengan berdirinya patung blontang tersebut. Patung di ukir sesuai dengan perawakan / jenis kelamin orang yang meninggal dan mempunyai tinggi sekitar 3 – 4 meter dari permukaan tanah. 









Puas mendokumentasikan Lamin Mancong kami kembali ke Tanjung Isuy dan kembali ke Muara Muntai dengan ketinting yang dari tadi menunggu kami di pelabuhan. Perjalanan kembali masih di hadang dengan gelombang, namun masih agak mudah karena arah angin tidak menghadang kami sehingga motoris cukup menyesuaikan perahu dengan kecepatan yang sesuai sehingga perahu tidak terhempas – hempas seperti sebelumnya. Perjalanan kembali memakan waktu sekitar 1,5 jam, kami kembali ke penginapan untuk mengambil barang lalu dengan perahu yang sama menuju Kuyung untuk selanjutnya bergegas menuju Balikpapan dengan mobil. Perjalanan ke Balikpapan cukup lancar dan sekitar pukul 22.00 wita tiba di Hotel Pacific lalu kami pamit dan kembali. 












Comments