Sekitar jam
9 pagi Utie mendarat di Bandara Sultan Aji Sulaiman di Kota
Balikpapan, mereka saya jemput dan langsung berangkat menuju Kuyung untuk
selanjutnya berganti ke transportasi air menuju Muara Muntai. Perjalanan
berjalan lancar dan memakan waktu sekitar 6 jam dengan mobil dan 30 menit
dengan Ketinting. Sebelumnya kami berhenti di Warung Makan Mira di Tenggarong
untuk makan siang dengan menu khas setempat, ikan patin bakar dan udang sungai
goreng. Di Muara Muntai kami menginap di Penginapan Abadi, satu – satunya
penginapan di Muara Muntai yang menyediakan kamar dengan AC, harganya memang di
atas rata – rata harga kamar umum, namun fasilitas yang kita dapat sebanding
dengan yang kita keluarkan. Malam hari kami berjalan – jalan di pusat Kecamatan
Muara Muntai Ulu sambil mencari makan malam. Yang unik di kawasan perbelanjaan
di Muara Muntai Ulu, saat malam hari kebanyakan toko – toko disana baru buka
saat setelah selesai waktu sholat isya. Jalan desa pun semuanya terbuat dari
Jembatan Kayu Ulin yang menghubungkan Muara Muntai Ulu dengan desa sekitarnya
seperti Rebaq Dinding, Muara Muntai Ilir dan Kayu Batu. Bentangan jembatan kayu
ini sangat panjang sekali, puluhan kilometer. Setelah makan malam kami kembal
ke Penginapan dan beristirahat.
Pagi
harinya, setelah sarapan nasi kuning kami bergegas menuju jetty yang ada di
dekat penginapan untuk selanjutnya menggunakan ketinting menuju Desa Mancong
& Tanjung Isuy yang letaknya berada di sisi Danau Jempang. Untuk Desa
Mancong sendiri kita harus memasuki rawa serta anak sungai kecil. Perjalanan
ini memakan waktu sekitar 8 jam, PP. Kami memutari Pulau Harapan dahulu yang
berada di seberang Muara Muntai untuk melihat suasana kampung dari sisi sungai
mahakam, sambil mencari Pesut Mahakam. Sayang kami belum beruntung menemukan
satwa langka tersebut saat itu sehingga kami teruskan menuju Danau Jempang.
Kondisi Danau saat itu air sungai mahakam mulai surut dari pasang besar 2
minggu lalu. Namun hembusan angin cukup kencang (sekitar 0,5 m) sehingga cukup
menyulitkan perjalanan kami. Pantat puluhan kali serasa terhempas akibat perahu
yang menabrak gelombang walaupun kami sudah memakai bantal duduk di perahu.
Saat memasuki Desa Jantur keadaan sungai mulai normal kembali. Desa Jantur sama
seperti Muara Muntai dan terbagi menjadi beberapa desa. Suku Banjar dari
Kalimantan Selatan mayoritas mendiami desa nelayan tersebut. Kalau Muara Muntai ada di sisi sungai mahakam, Desa
Jantur ada di tengah Danau Jempang yang merupakan Danau terbesar ke 6 di
Indonesia dengan luas sekita 15.000 Hektar. Setelah Desa Jantur kami memasuki
Desa Ohong yang berada di sisi Danau, lalu memasuki jalur kecil yang di himpit
dengan pepohonan dan enceng gondok. Jalur menuju sungai kecil untuk masuk ke
Desa Mancong ternyata tertutup tanaman air sehingga kami musti membatalkan
perjalanan ke Mancong via sungai, walau ada jalur alternatif yang sudah di buat
warga dan motoris yang kebanyakan membawa tamu ke Mancong sebelumnya. Namun
karena air terlalu surut cukup membahayakan perahu karena rentan tertabrak
tanggul pohon yang banyak di dasar, kami langsung putar arah dan menuju Desa
Tanjung Isuy.
Kami melewati Desa Tanjung Jone yang
didiami mayoritas oleh Suku Bugis dari Sulawesi. Tidak lama kemudian kami tiba
di Tanjung Isuy dan makan siang di warung warga setempat. Berhubung Takashi
ingin sekali ke Mancong maka kami mencari alternatif lain, yakni mencari
rentalan mobil untuk menuju Desa Mancong via darat. Kami berhasil menemukan
rentalan mobil setelah makan siang lalu berangkat menuju Desa Mancong yang
jaraknya ternyata cukup dekat dari Tanjung Isuy, yakni cukup dengan waktu
sekitar 30 menit kami tiba di Desa Mancong. Kondisi jalan memang tidak mulus,
banyak jalan aspal yang sudah mulai terkelupas, berlubang serta jalan tanah
yang bergelombang. Akhirnya kami sampai di Desa Mancong dan langsung parkir
tepat di depan lamin. Warga desa Mancong baru saja merayakan Natal sehari yang
lalu, hal ini terlihat dengan masih berdirinya tenda di depan lamin. Kami lalu
berkeliling di dalam lamin untuk melihat interior yang kebanyakan berhiaskan puluhan
tengkorak kerbau yang sudah di korbankan saat acara Kwangkai. Sedangkan
lantainya beralaskan kayu ulin dan tepat di tengah di desain agak renggang
untuk bisa melihat kondisi di bawah lamin. Ada beberapa kamar di dalam lamin
namun sudah jarang untuk di diami baik oleh warga maupun wisatawan. Di lantai
atas pun sama. Sedangkan di depan lamin puluhan Patung Blontang berjejer
memanjang di sepanjang halaman lamin. Hal ini sama dengan tengkorak kerbau yang
ada di dalam lamin, menandakan sudah berapa kali diadakannya acara Kwangkai
yang di akhiri dengan di tandai dengan berdirinya patung blontang tersebut.
Patung di ukir sesuai dengan perawakan / jenis kelamin orang yang meninggal dan
mempunyai tinggi sekitar 3 – 4 meter dari permukaan tanah.
Puas
mendokumentasikan Lamin Mancong kami kembali ke Tanjung Isuy dan kembali ke
Muara Muntai dengan ketinting yang dari tadi menunggu kami di pelabuhan. Perjalanan
kembali masih di hadang dengan gelombang, namun masih agak mudah karena arah
angin tidak menghadang kami sehingga motoris cukup menyesuaikan perahu dengan
kecepatan yang sesuai sehingga perahu tidak terhempas – hempas seperti
sebelumnya. Perjalanan kembali memakan waktu sekitar 1,5 jam, kami kembali ke
penginapan untuk mengambil barang lalu dengan perahu yang sama menuju Kuyung
untuk selanjutnya bergegas menuju Balikpapan dengan mobil. Perjalanan ke
Balikpapan cukup lancar dan sekitar pukul 22.00 wita tiba di Hotel Pacific lalu
kami pamit dan kembali.
Comments
Post a Comment