Nutuk Beham
merupakan tradisi Suku Kutai Adat Lawas yang ada di Desa Kedang Ipil, Kecamatan
Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara, untuk merayakan keberhasilan panen.
Tradisi ini dulunya di lakukan di masing – masing ladang warga, namun kini
warga sepakat melakukan tradisi ini bersama – sama di Balai Adat Desa yang
malah membuat tradisi ini lebih menarik karena dilakukan dengan gotong royong
secara kekeluargaan yang kental.
Saya untuk
ketiga kalinya memandu tamu special berkewarganegaraan dari Australia, John
McDonald & Karen yang kini menetap sementara di Balikpapan. Sebelumnya
mereka pernah saya pandu untuk menyusuri sungai mahakam dengan menggunakan
kapal wisata dan ketinting dengan tujuan yang berbeda pula. Kedang ipil pun
bukan hal asing bagi mereka, karena mereka sudah pernah kesana saat trip yang
kedua. Namun kali ini berbeda, kunjungan pertama tidak ada acara adat,
sedangkan kali ini ada acara adat yang digelar sekali dalam setahun, itupun
jika berhasil dalam panen. Warga desa Kedang Ipil memegang teguh tradisi adat
Nutuk Beham, sehingga pada saat mereka gagal dalam panen, kegiatan ini tidak
akan dilakukan.
Day 1 :
Jam 9 pagi
saya tiba di Balikpapan untuk menjemput John & Karen di kediamannya,
perjalanan agak terlambat, karena terhambat hujan yang mulai mengguyur saat
kami melewati kawasan Bukit Soeharto. Perjalanan berjalan dengan lancar, kami
mampir sebentar di jalan poros Balikpapan – Loa Janan untuk membeli buah naga yang
nantinya disiapkan untuk sarapan John & Karen di desa Kedang Ipil.
Lalu
makan siang di Warung Makan Banjar Sari di Tenggarong yang menyajikan makanan
khas kutai.
Perjalanan memakan waktu sekitar 5 jam dari Balikpapan, sepanjang
perjalanan waktu kami habiskan dengan mengobrol. Di Desa Sedulang kami kembali
berhenti untuk melihat petani lokal yang memisahkan biji padi yang sudah matang
dengan menggunakan mesin.
Perjalanan kami lanjutkan ke Desa
Kedang Ipil dan kami berhenti di Homestay bu Tamti yang ada di dekat Balai
Adat, untuk memindahkan barang dan menyempatkan melihat aktifitas warga yang
tumpah ruah di sekitaran Balai Adat. Masing – masing memiliki tugas sendiri –
sendiri, baik ibu – ibu, maupun pria, tua & muda. Dari proses panen padi,
padi akan di rendam selama 3 hari di aliran sungai dengan menggunakan karung
yang sudah bertuliskan nama – nama para donator alias warga yang ikut serta
dalam proses Nutuk Beham. Karung padi akan di proses sesuai giliran, yang lebih
dulu mendonasikan / menyumbang kepada panitia akan di proses lebih dulu.
Padi yang sudah di rendam akan
dinaikkan ke atas dengan menggunakan alat sederhana yang lebih efisien dari
pada di angkat dengan manual alias tanpa alat. Padi lalu di sangrai sekitar 1
jam lebih dengan suhu api yang konstan. Ibu – ibu kebanyakan yang melakukan
proses sangrai ini, namun tidak menutup kemungkinan untuk para pria ikut serta.
Ada sekitar 22 tempat untuk menyangrai yang di siapkan panitia, semua dengan
metode sederhana, yakni membuat lubang untuk kayu bakar di dalam tanah dengan
kedalaman 0,5 meter. Padi akan di dinginkan setelah 1 jam dengan di hampar di
atas tikar yang terbuat dari daun lalu di bawa ke proses selanjutnya, yakni di
Tutuk . Proses ini masih manual, padi akan di buat dalam lubang di sebuah media
kayu yang di sebut lesong lalu di haluskan dengan cara di tumbuk menggunakan
Alu.
Proses ini di dominasi kaum pria,
namun kaum hawa pun ada yang ikut serta. Ada sekitar 5 lesong yang disiapkan,
setiap lesong akan di isi oleh para penumbuk dengan alu masing – masing yang
beratnya lumayan membuat tangan anda merasa capek saat baru 10 kali tumbukan. Rata
– rata ada sekitar 5 penumbuk di setiap lesong, namun kadang – kadang bisa
sampai 10 orang. Tergantung dari irama penumbukan, semakin cepat semakin banyak
yang bergabung dan begitu pula sebaliknya. Penumbukan dilakukan disebuah
panggung yang di buat semi permanen di samping balai adat, ada semacam
modifikasi di bawah posisi lesong yang terhubung dengan sebuah alat suara di
bawah panggung. Setiap lesong di tumbuk akan membuat sebuah suara yang unik
yang akan terus terdengar selama proses penumbukan ini berlangsung.
Proses ini
berlangsung 24 jam nonstop selama 3 hari dan dilakukan secara bergantian oleh
warga sesuai jadwal per RT. Dengan melimpahnya hasil panen tahun ini, semakin
banyak pula donatur yang menyumbang beras. Tahun ini ada sekitar 2 ton beras
yang terkumpul. Rata – rata donatur menyumbang sekitar 4 kg padi, 15kg beras, 1
buah Gula Merah, 1 buah kelapa dan uang 30.000 rupiah.
Padi yang sudah di tumbuk akan di
giling menggunakan mesin sederhana yang menghasilkan media angin untuk
memisahkan kulit padi dengan biji beras, tidak cukup disitu saja, Kulit padi yang
sudah terpisah akan di proses manual lagi dengan cara “menempi”, karena masih
ada biji padi yang masih tercampur saat proses pertama. Setelah menempi barulah
beras akan diproses menjadi masakan yang disebut “Beham”. Karen nampak sibuk
dengan buku catatan yang secara detil menanyakan berbagai proses yang
berlangsung. Sedangkan john sibuk dengan kameranya untuk mengabadikan momen
yang ada. Sesekali mereka mencoba satu persatu proses nutuk beham sambil
bercengkrama dengan warga lokal, kendala bahasa tidak menjadi masalah, karena
mereka fasih berbahasa Indonesia. Oh ya, untuk urusan makan semua tamu /
pengunjung di persilahkan makan di Balai Desa dan terbuka untuk umum selama 24
jam nonstop. Malam hari kami kembali ke Hometay dan beristirahat dengan
nyenyak.
Day 2 :
Setelah
sarapan pagi di homestay kami kembali sibuk melihat proses Nutuk Beham yang
terus berlanjut. Siang hari, kami mengikuti proses penerimaan tamu yang di
koordinir oleh kawan – kawan dari Komunitas Jejak Budaya & Exotic Kaltim,
sedangkan komunitas Mahakam Explore sudah lebih dahulu tiba di Desa dan
langsung berbaur dengan warga sekitar. John & Karen ikut berbaur dengan
peserta komunitas untuk mengikuti ritual penyambutan tamu. Setelah proses
penyambutan pengunjung di persilahkan untuk makan siang lalu di antar ke homestay yang sudah di
sediakan.
Sore hari kami pergi ke salah satu
ladang warga untuk mencoba memanen padi gunung dengan cara tradisional yang
biasa dilakukan warga, yakni dengan menggunakan alat sederhana yang disebut “Ani
– Ani” atau “Perenggaman”. Alat ini di buat oleh warga dari kayu / bambu biasa
dan lengkapi dengan silet sebagai media pemotong tangkai padi. Ditemani oleh
beberapa warga seperti Pak Sartin, banyak peserta yang di dominasi kaum muda
mencoba proses ini sekaligus mendapat info penting dari Pak Sartin.
Setelah kegiatan ini selesai kami kembali ke homestay masing – masing. Malam hari kembali pergi ke Balai Adat untuk makan malam dan berbaur dengan warga sekitar.
Day 3 :
Acara puncak Nutuk Beham mulai digelar. Beras yang sudah melalui banyak
rangkaian kegiatan akhirnya di proses menjadi makanan tradisional yang di sebut
“Beham”. Prosesnya cukup mudah, beras akan di masukan di kuali besar, dicampur
air panas, di padatkan, di campur dengan gula merah dan parutan kelapa yang
sudah di sangrai. Tahap finishing adalah mencampurnya dengan beras yang masih
mentah sebagai toping. Beham akan siap disantap jika sudah di bacakan mantra –
mantra oleh tetua adat.
Tengah hari rombongan pejabat tiba di lokasi acara, PJ
Bupati Kutai Kartanegara, Pak Edy Damansyah didampingi istri dan pejabat teras
lainnya ikut hadir, seperti Ketua DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara, Pak
Salehudin II, Kadis Pariwisata Kab Kutai Kartanegara, Ibu Sri Wayhuni, Kadis
Pendidikan & Kebudayaan, Camat Kota Bangun, Pak Mawardi, unsur dari
Kepolisian dan TNI serta rombongan Pertukaran Remaja Budaya yang berasal dari
berbagai Negara luar. Rombongan disambut dengan ritual adat, Tepong Tawar, lalu
menari bersama dengan para penari sambil berjalan mendekati lokasi acara. Beberapa
sambutan formal dilakukan, termasuk hiburan tari tradisional dari Desa Kedang
Ipil. Setelah mengajak pejabat melihat semua proses Nutuk Beham, rombongan di
ajak ke Balai untuk menikmati makan siang dan tentunya Beham yang sudah siap di
santap. Acara di tutup secara resmi oleh
PJ Bupati Kutai Kartanegara dan kami pun kembali ke Balikpapan sore itu juga.
Comments
Post a Comment