Pak
Henry & Ibu Henny Tanojoutomo berasal dari Surabaya namun sudah lama hijrah
ke German. Sangat menyenangkan mengguiding pasangan humoris ini di sepanjang
tour. Kontak pasangan ini saya dapatkan dari salah satu post teman di Instagram
@artvntre yang mengarahkan langsung ke akun IG saya. Gayung bersambut, kami
mulai diskusi untuk mengatur jadwal tour sesuai keinginan dan kondisi di
lapangan.
Day 1 : Jadwal
kedatangan pesawat Nam Air tertunda, dari jam 12 siang pesawat baru akan tiba
pukul hampir pukul 15:50 sore. Saya agak senang mendengar berita ini, bukan
karena apa, perut saya lagi gak enak, udah berapa kali musti rajin setoran ke
bilik sembunyi. Jadi musti di stabilkan dahulu baru enak di bawa keluar dengan
percaya diri. Saya di jemput driver andalan, Henson yang masih kerabat family
dari pihak ibu. Kami ke kost Henson dulu yang ada di salah satu perumahan di
Samarinda, jadi supaya nanti pas mau ke bandara APT Pranoto gak perlu waktu lama
lagi. Waktu spare saya manfaatkan untuk istirahat setelah makan obat mencret,
neurit. Badan terasa down, ngefek sekali saat kaki merasa gak nyaman saat
terkena angin dari kipas angin, tumben, biasanya tengah hari begini memang
biasa pake kipas angin di rumah, tapi kali ini beda. Periksa jidat, memang
suhunya agak panas. Yo wes lah, nanti beli obat paracetamol. Beberapa kali
terbangun dari tidur, apalagi kalau posisi badan menghadap ke kiri, tumpukan
bantal anak kost dari generasi ke generasi yang sudah expired alias bau,
menimbulkan aroma tak sedap, membuat kepala tambah pusing. Pukul 14.30 kami
mulai bersiap – siap untuk ke bandara untuk menjemput Pak Henry & Bu Henny.
Pertama kali ke bandara baru ini, di kira gede, ternyata kecil, kalah jauh dari
bandara Balikpapan. Kami masih punya banyak waktu, jadi kami nongkrong dulu di
depan indomaret sambil mengisi perut dengan mie instan. Tamu akhirnya datang,
kami arahkan ke mobil dan perjalanan di mulai.
Tujuan pertama
adalah Desa Budaya Dayak Kenyah, Desa Pampang, yang masuk wilayah Kotamadya
Samarinda. Kami cukup beruntung karena ada Nenek telinga panjang yang saat itu
sedang berjualan di samping lamin. Setelah negoisasi kami akhirnya bisa foto –
foto lalu menaiki Lamin (Rumah Panjang Suku Dayak) dan foto – foto lagi.
Dari
pampang kami menuju Vihara atau yang biasa dikenal dengan Budhist Center. Kami
diijinkan masuk ke tempat ibadah oleh salah satu pengurus yang saat itu tampak
sedang bersiap – siap untuk ibadah.
Dari Budhist Center kami menu Rumah Makan
Pondok Borneo, atas permintaan khusus dari ibu Henny yang tertarik mau makan
disitu setelah melihat salah satu video vlogger di youtube. Saya kurang
menikmati makan saat itu, karena perut dan badan masih bermasalah, namun saya
paksakan saja, karena perut harus terisi supaya bisa menjaga stamina. Setelah
makan siang sekaligus makan malam itu kami mampir sebentar di Islamic Center
lalu mengantarkan tamu menuju Hotel Harris dan berpisah untuk sementara waktu.
Kami memilih istirahat di Guest House Pribadi alias numpang di tempat keluarga
sekaligus base Komunitas Save Pesut Mahakam yang berada tidak jauh dari lokasi
Hotel.
Day 2 : Badan
& perut sudah agak mendingan, namun kepala masih gak fit, apalagi kalo
diangkat setelah menunduk terasa goyang. Sehabis Mandi, sarapan nasi kuning,
makan obat, kami melaju kembali ke Hotel Harris untuk menjemput tamu. Kunjungan
pertama di hari ke dua adalah Islamic Center, baru menuju Tenggarong.
Di
Tenggarong kami mengunjungi Ladaya, baru setelah itu menuju Pelabuhan Museum
Mulawarman untuk selanjutnya makan siang sambil menyusuri sungai mahakam dengan
menggunakan Kapal Wisata Privat.
Tujuan kami adalah Muara Muntai yang
Insyaallah akan sampai di ke esokan paginya. Kapal berjalan dengan pelan,
supaya tamu bisa menikmati pemandangan sungai mahakam di sepanjang perjalanan.
Malam harinya, kami makan malam dan beristirahat, sedangkan kapal terus
bergerak dengan pelan.
Day 3 : Tidak
lama setelah sarapan pagi, kapal tiba di Muara Muntai, kami menyempatkan untuk
berjalan – jalan di Muara Muntai yang terkenal dengan bentangan Jembatan Ulin
panjangnya. Pusat Pasar tradisional ramai akan pembeli dengan berbagai
kebutuhan masing – masing. Saya membeli beberapa kue tradisional untuk bekal di
perjalanan nanti ke Mancong yang memang memakan waktu agak lama, kurang lebih 3
jam.
Kembali ke kapal, lunch box sudah siap, kami memulai perjalanan dengan
menggunakan ketinting. Perjalanan melintasi Danau Jempang yang luasnya sekitar
15.000 Ha, dan melewati beberapa jalan pintas setelah Desa Jantur, karena jalur
utama tertutup kumpulan besar tanaman air (Napung) yang senantiasa bergerak
karena angin atau arus air. Motoris kami, Udin Kancil, harus menyiasati rute
perjalanan supaya tidak nyasar, atau malah nyangkut di napung tersebut.
Alhamdulillah kami bisa menemukan jalan lain dan memasuki track yang benar saat
berhasil memasuki Kampung Muara Ohong, yang berada di sisi Danau Jempang. Kami
terus memasuki sisi danau hingga menemukan sungai kecil yang menuju ke Desa
Perigiq & Mancong. Perjalanan kali ini lebih lambat karena sungai yang
kecil, dan beberapa kali kami berhenti untung mengabadikan satwa liar seperti
Bekantan, Monyet Ekor Panjang, ular sawa, hingga beberapa jenis burung. Rata-
rata turis asing sangat senang saat melalui rute ini, mungkin karena satwa
liarnya maupun hutan sisi sungai yang masih bagus.
Setelah melewati
Desa Perigiq kami tiba di Desa Mancong. Kami tidak bisa langsung naik di dekat
Lamin, karena beberapa tumpukan kayu yang menghalangi jalan ketinting untuk
lewat, jadi kami musti berjalan kaki untuk menuju Lamin Mancong. Di perjalanan
yang singkat kami menyempatkan mampir untuk melihat aktifitas warga yang sedang
membuat kerajinan tangan ulap doyo. Di Lamin setelah melihat – lihat isi dalam
lamin, kami melihat pertunjukan tari- tarian (dengan permintaan terlebih dahulu
dengan pengurus lamin / adat). Ada sekitar 5 jenis tarian yang disuguhkan, baik
yang ditarikan oleh penari anak – anak, dewasa maupun yang sudah tua. Tamu saya
juga berkesempatan untuk mencoba menyumpit dan diakhiri dengan mengoleskan pupur
dingin kepada para penari, dan penaripun membalas dengan hal yang serupa. Kami
pamit dan kembali ke kapal dengan buru – buru, karena waktu yang semakin mepet,
kami tidak langsung kembali ke Muara Muntai, namun memintas ke Penyinggahan,
dimana kapal sudah menunggu disana. Kapal lalu meneruskan perjalanan menuju
Melak, Kabupaten Kutai Barat.
Day 4 : Saat
bangun pagi, kapal sudah bertambat di
samping kapal lain di dekat Pelabuhan Melak, sarapan pagi, kami jalan – jalan
dulu di pasar melak lalu menuju Linggang Melapeh. Tujuan pertama adalah Luuq
Melapeh (Rumah Panjang / Lamin Suku Dayak Tunjung Rentenukng) sekaligus mencoba
sauna tradisional, Betimung. Ibu Petinggi Desa linggang melapeh di bantu ibu
yang lain menyiapkan rebusan beberapa jenis tanaman herbal yang digunakan untuk
betimung. Bapak Henry maju untuk yang pertama, disusul ibu Henny dan terakhir
saya. Beberapa kali membawa tamu baru ini saya mencoba betimung, memang enak
ternyata saat keringat mulai keluar dari pori – pori di seluruh badan. Dari lamin
kami menuju Danau Aco dan diakhiri dengan mandi – mandi di segarnya aliran air
Terjun Tabalas. Kunjungan terakhir kami adalah wisata belanja oleh – oleh khas
kutai barat, baru menuju kapal dan putar haluan menuju ilir sungai mahakam,
yup, kami kembali ke Tenggarong
.
Day 5 : Seperti
biasa, sarapan pagi, siang sekitar jam 10.00 kami tiba di tenggarong. Kunjungan
di hari akhir ini adalah Museum Mulawarman & Museum Kayu Tuah Himba.
Kembali makan siang di kapal, pamitan dan kami menuju workshop tenun ulap doyo,
Pokant Takaq yang ada di Jl. Mangkuraja 6, Tenggarong. Agak tertunda sebentar
karena hujan deras, kami meneruskan perjalanan menuju Balikpapan. Sore kami
mampir di warung Sumedang yang ada di Bukit Soeharto untuk coffee break
sekaligus rehat sebentar, lanjut lagi ke Balikpapan, makan malam di RM. Torani
(Balikpapan) dan menyudahi tour setelah tamu diantar ke Hotel Grand Tjokro.
Terima kasih
kepada Pak Henry dan Bu Henny atas kepercayaannya kepada saya untuk memandu
tournya selama 5 hari di Kalimantan Timur.
Comments
Post a Comment