Touring ke Muara Pahu (Kutai Barat)

                Muara Pahu merupakan kampung kelahiran abah (bapak) ku, namun beliau masih keturunan banjar (Kalimantan Selatan). Sejak kecil hanya 2 kali saya pernah kesana. Masih terbayang saat berumur 5 tahun, diajak abah jalan – jalan, pesut mahakam masih banyak dan merupakan pemandangan yang biasa bagi warga sekitar. Namun untuk sekarang, hal itu sudah merupakan hal yang langka dan jarang terlihat. Selangka statusnya hingga kini, satwa langka nomor paling atas (se Indonesia) yang hampir punah dan terancam populasinya. Sehingga kini hasrat untuk kembali kesana terus menggebu – gebu dan akhirnya Alhamdulillah kesampaian.
                Hari lebaran Hari Raya Idul Fitri 1434H, selepas silahturahmi dengan keluarga istri tercinta di Desa Bakungan (Loa Janan) saya berangkat ke Desa Rantau Hempang beserta istri dan anak menggunakan sepeda motor merk Hondra supra fit X 125. Karena perjalanan  dirasa akan memakan waktu lama dan juga waktu yang semakin siang, tradisi untuk berkumpul dengan keluarga dari pihak Abah di tenggarong terpaksa dilewatkan. Medan jalan ke kampung lumayan banyak alternatif, misalnya saat cuaca panas, biasanya kami melewati jalan tambang (Tanito/FBS) di Loa Tebu, dan ada juga jalan pintas dari rapak lambur. Kalo sedang hujan, kami memutar melewati loa tebu, sirbaya, menyeberang ke beloro dan menyeberang lagi menggunakan kapal fery . Hal ini karena dari sirbaya ada setengah rute yang susah di lewati karena becek, licin, penuh lubang yang dalam, sehingga jalur amannya adalah menyebarang ke beloro, dan menyeberang lagi ke sirbaya, sehingga jalur yang rusak sudah dilewati. Dari sirbaya tinggal ikut jalur utama hingga sampai ke kampung, dengan medan jalan tanah berbatu.
                2 hari dikampung halaman, saya lanjutkan perjalanan ke muara pahu, masih menggunakan sepeda motor. Kali ini ada yang menemani, yakni Henson, Ihsan, dan Andri yang masih sepupu dari pihak ibu. Dengan menggunakan motor masing – masing kami berangkat saat pagi menjelang siang (sekitar pukul 9.00 wita) menuju arah simpang melak, melewati jalan yang sudah lama rusak (Tebalai, Muara Kaman) serta jalan sawit yang khas dengan medan yang berbatu dan berlumpur. Sekitar setengah jam, kami sampai di simpang melak dan dilanjutkan kembali menyusuri jalan Kabupaten Kutai Barat yang lumayan bagus dari pada jalan di Kabupaten Kutai Kartanegara, lebih lebar dan mulus. Jarang terlihat kerusakan parah apalagi lubang yang menganga yang membahayakan pengguna jalan. Karena perjalanan yang jauh, saat merasa capek dan ngantuk kami selalu mampir di warung untuk melepas lelah dan kantuk. Setiap ada pemandangan yang bagus kami berhenti untuk mendokumentasikan moment tersebut, termasuk objek wisata yang kami temui di jalan.
                10.54 wita kami mampir untuk melepas lelah pertama di kampung pertama (lupa namanya) selepas simpang melak kami masuki, andri dan anak saya makan mie rebus, yang lain milih nyemil dan minum. Perjalanan di lanjutkan kembali, saya beserta istri, anak ikut ihsan (pake matic), sedangkan henson ikut andri (trail). Kadang – kadang kalo merasa capek, henson ikut ihsan, nazmi ikut saya lagi. 13.00 wita kami memasuki perbatasan Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Barat, yakni antara gusi’ (kukar) dan jambuk (resak, kubar), kami mampir ketempat keluarga di desa jambuk, yakni adik dari ibu, Om (Paman) Barew. Minuman segar dan cemilan khas lebaran disantap tanpa ampun, ha ha… lapar berat. Selepas ngobrol panjang lebar, kami pamit, dan tak lupa rayuan khas antara ponakan dan paman membuahkan hasil, bensin kami di isi gratis oleh sang paman.



                Selepas jambuk dan resak I, II, dan III, jalan aspal mulus mulai berganti dengan jalan aspal yang mulai rusak, dan jalan yang berbatu. Namun sekitar 2 – 3 kilo jalan semen (hotmix) menyambut dengan penuh janji, anti goncangan, dan begitu seterusnya, silih berganti. Sehingga perjalanan bisa dikatakan berjalan dengan cukup mulus. Saya kagum dengan Kabupaten Kutai Barat, jalannya selalu di perhatikan dan tidak menutup kemungkinan tahun berikutnya jalan aspal dan semen mendominasi, bukan jalan rusak layaknya di jalan poros kutai kartanegara. 15.16 wita, kami mampir sebentar di kecamatan Jempang, untuk melihat objek wisata rumah panjang khas suku dayak, selepas jepret – jepret kami melaju kembali. Sekitar 30 menit kami masuk di daerah tambang Gunung Bayan Pratama Coal, karena jalan ke kampung muara pahu ada di dalam perusahaan batu bara tersebut, medan jalan khas tambang mulai kami tempuh, kadang – kadang mulus, bergetar hingga berguncang. Namun kami salah jalan, begitu banyak lintasan dan jalan membuat kami yang baru pertama kali bingung, setiap ada orang kami bertanya untuk jalan yang menuju muara pahu. Namun tak semulus yang di bayangkan, setiap petunjuk selalu dibingungkan dengan banyak jalan – jalan. Akhirnya kami memasuki kampung, saya kira sudah memasuki muara pahu, ternyata salah. Kami memasuki kampung Manau, dan Muara Pahu masih 1 jam perjalanan. Hamparan sungai kecil (Sungai Baroh) dengan banyaknya batang kayu yang siap di angkat dan diantar ke Perusahaan Kayu, menjadi pemandangan yang unik, karena zaman kayu gelondongan sudah lama berlalu, sehingga masih banyaknya batang kayu yang diberukuran 1 meter lebih menjadi pemandangan yang luar biasa, sekaligus menyedihkan. Perut yang sudah meraung – raung dari tadi, layaknya knalpot yang meronta – ronta. Kami putuskan untuk di isi ala kadarnya dulu, Mie instan “lagi”.  Dari perbincangan singkat dengan yang punya warung, iseng – iseng saya tanyakan, apakah pesut mahakam masih terlihat, bilangnya ada, beberapa hari yang lalu. Asyik, semoga nanti ada waktu menyisiri sungai baroh untuk melihat satwa liar dan satwa langkanya sekaligus. Selepas perut sudah terisi, kami berangkat dan 1 jam berikutnya Alhamdulillah sampai (dengan nyasar dulu sebelum simpangan).




                Kami mampir di tempat saudari dari abah, Mbok (Bibi) Neneng yang ada di sebelah darat kampung. Hampir seluruh kampung ada di sisi sungai mahakam, dan di hubungkan dengan jembatan ulin. Kami pun santai, ada yang mandi, berbaring dan ada juga yang gak enak badan. Henson ternyata lagi drop karena selama di perjalanan selalu ikut andri yang pake trail, dampaknya terlihat, pantat dan badannya gempor di hajar dudukan trail yang memiliki suspensi yang keras. Motor trail lazimnya hanya di pake untuk 1 orang, saat ada jalan rusak, berbatu, bergelombang, biasanya pengendara trail selalu berdiri. Henson pun sadar dan bertobat, tidak akan ikut boncengan sama trail lagi. LOL
                Selepas makan malam kami berjalan – jalan sebentar, ada pasar malam, lumayan untuk melihat keramaian dan ikut melepas penat sambil main lempar gelang. Keluarga yang ada di sepanjang jalan pun di datangi untuk silahturahmi. Sambil minum kopi white merk luwak di dapur yang berhadapan langsung dengan sungai baroh, kami asyik ngobrol – ngobrol sambil memandangi sungai. Siapa tahu ada pesut mahakam lewat, namun ketika di tanyakan dengan mbok Gendut (julukan, bukan nama sebenarnya) pesut mahakam sudah lama tidak lewat. Sedih, padahal baru tadi sore ada yang bilang pesut mahakam terlihat di sungai baroh. Selepas itu kami pulang dan istirahat.

                Besok paginya, kami keliling kampung menggunakan sepeda motor. Ada yang unik, ternyata ada warga yang memelihara payau (sejenis rusa) yang ukurannya lumayan besar di belakang rumah. Kami pun mampir untuk melihat secara dekat, ternyata jinak dan kami bisa memberi makan dan mengelus kepala dan badannya. Kami mampir sebentar di tempat Om Agus, lumayan dapat suguhan teh hangat dan kue kering. Selepas ngobrol, kami menanyakan perahu yang bisa di pinjam, ternyata ada, punya adik om agus. Kami pun senang dan merencanakan siang menjelang sore nanti untuk berkeliling sungai baroh menggunakan ketinting. Siang kami kembali untuk makan siang, dan selepas itu ke sungai untuk memancing.








Dengan umpan mie serta adonan gandum yang di goreng, kami melemparkan umpan satu  persatu. Ada yang menggunakan gandar (joran) serta kerekan (ril), dan ada juga yang tradisionil. Istri saya salah satunya, malah dia berhasil strike duluan, walau cuman ikan lancang (Pangasius macronema) ukuran sedang. Namun sasaran utama, Ikan Patin (Pangasius Djambal) tidak berhasil didapat. Sesekali ikan Belida (Chitala chitala) ukuran besar menyambar serangga di permukaan, tidak jauh dari tempat kami memancing. Hal ini membuat saya mencoba alat casting yang selalu ada di tas pancing. Namun tidak berhasil mendapatkan apa – apa.





Tak lama adik om agus datang sambil membawa ketinting yang akan di pinjamkan kepada kami. kami kira dia  akan membawa kami, selepas di tunggu – tunggu ternyata orangnya belum kembali. Saya naik keatas untuk mencari, ternyata orangnya sudah pulang. Yaaahhh, kalo tahu begitu, dari tadi kami berangkat. Bensin di cek, masih ada, dan di rasa cukup. Kami pun berangkat sekitar sore hari, ke arah hulu sungai baroh. Tak lama mencari, pesona sungai baroh mulai memancar, kawanan bekantan dan lutung banyak kami temui, tidak itu saja, sekawanan burung enggang juga ada. Sekitar 15 menit kemudian, bensin mulai menipis, tidak ada kampung di dekat posisi terakhir kami, karena belum hapal medan, kami memutuskan kembali saja supaya aman. Sesudah mengisi bensin, lanjut lagi ke sungai mahakam yang ada di muara, namun tidak jauh, kurang lebih sama dengan perjalanan ke sungai baroh. sore menjelang maghrib kami kembali ke muara pahu. Sunset yang indah tak luput kami abadikan, perahu kami ikat di rakit, dan mesinnya kami masukkan ke dalam. Malamnya kami manfaatkan untuk ngobrol – ngobrol lagi.












                Besok paginya, kami akan kembali ke kampung, ihsan, henson dan andri kembali ke Rantau Hempang, saya, istri dan anak langsung ke Bakungan. Namun rute pulang di rencanakan berbeda, yakni menyisiri jalur di sisi sungai mahakam via penyinggahan, muara muntai dan kuyung. Bukan jalan poros melak yang kami lewati saat ke muara pahu dari simpang melak. 08.00 wita, dari muara pahu kami ke Penyinggahan (Kubar), melalui jalan tembus yang ada di ujung kampung, jalan tembus yang baru di buka ini adalah jalan tanah, dan sangat beresiko saat hujan karena becek, licin dan lengket. Beruntung beberapa hari belum ada hujan, sehingga jalan masih agak kering, walau ada beberapa yang masih agak basah. Saya pun beberapa kali tergelincir dan tersandung sehingga jatuh, namun tidak menimbulkan luka serius, hanya lecet.  Satwa liar seperti burung, bekantan, lutung dan monyet sangat banyak kami temui di sepanjang jalan. Setiap ada “penampakan” kami pun berhenti dan mengabadikan momen tersebut dengan kamera masing – masing. Sekitar 2 jam lebih kami sampai di penyinggahan, tepatnya 10.42 wita. Kabar kurang sedap mulai terendus, jalan yang akan kami lalui di sepanjang sisi sungai mahakam ada beberapa yang tidak bisa dilewati karena jembatan penghubung rusak dan masih dalam proses perbaikan. Sehingga kami musti menyewa ces jika ingin tetap mengikuti plan awal, namun karena biayanya cukup mahal (250 rb per ketinting untuk 1 motor dan penumpangnya) kami urungkan dan kembali ke jalur awal, walau harus memutar kembali ke muara pahu, dan memakan waktu 2 jam lagi. Tepat jam 12.00 wita kami  sampai ke muara pahu, dan langsung tancap gas ke arah jalan tambang. Hampir pukul 14.00 wita kami keluar area tambang dan mencari warung makan terdekat, dan akhirnya kami memilih di warung makan rica – rica di kampung Muara Tae dekat Camp Gunung Bayan. Maknyoss… rica – rica bebek begitu nikmat dan sedap di lidah, apalagi di perut. Habis makan, lanjut lagi. 15.38 wita kami istirahat lagi di samping sisi jalan dekat kampung Pentat, kali ini baring dan duduk diatas rumput saja, saya terpaksa berhenti karena mata terasa mengantuk saat mengendarai sepeda motor, mungkin karena perut sudah terisi full. Selepas di rasa segar lagi kami lanjutkan perjalanan dan berhenti lagi di Gusi’ (16.32 wita) untuk mendatangi keluarga sekalian istirahat dan mendapatkan cemilan dan minuman gratis. Ada untungnya juga punya keluarga besar dan tersebar dari kubar dan kukar. 17.20 wita kami istirahat lagi di perbatasan tugu perbatasan antara kukar dan kubar. Singkat cerita abis isya kami sampai di persimpangan melak, dan berpisah. Henson, Ihsan dan andri ke rantau hempang, dan saya ke bakungan.












                 

Comments

Post a Comment