Nutuk Beham 2019, Suku Kutai Adat Lawas, Desa Kedang Ipil

 

                Nutuk Beham yang berarti menumbuk beras beham, kembali di gelar oleh warga Desa Kedang Ipil, Suku Kutai Adat Lawas, Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kegiatan ini di adakan sekali setiap tahunnya di bulan April, dengan catatan tidak mengalami gagal panen. Untuk tahun ini, hasil panen menurun dari pada tahun sebelumnya, dikarenakan beberapa hal. Alhamdulillah sejak di gelar mulai tahun 2015, kegiatan ini bisa saya lihat kembali.

                Saya beserta keluarga dan teman berangkat ke Desa Kedang Ipil pada hari Sabtu, 27 April 2018, saat tengah hari dengan menggunakan mobil dan 2 rekan dari samarinda menggunakan sepeda motor. Kami tiba di Desa Kedang Ipil sebelum ashar dan langsung menuju Balai Desa untuk melihat kegiatan warga saat itu. Ada yang menumbuk padi, menyangrai, memasak di dapur balai adat, dan lainnya. Semua warga nampak memenuhi lokasi dengan berbagai aktifitas. Tempat pertama yang kami tuju adalah tempat menumbuk padi. Bangunannya ada di sebelah kanan Balai Adat, bangunan ini dibuat dengan material kayu, dan untuk bagian atap sudah dipasangi atap sirap (kayu), sehingga lebih enak di pandang dari pada menggunakan terpal.  Ada sekitar 4 lesong (tempat menaruh beras untuk di tumbuk) yang terbuat dari jenis kayu ulin, dan setiap lesong akan terdapat beberapa penumbuk (2 – 5 orang) dengan alu (penumbuk beras) yang juga terbuat dari kayu ulin.  Pengunjung bisa mencoba menumbuk beras bersama dengan warga, termasuk keluarga saya yang nampak antusias mencoba menumbuk beras.

   Berikutnya kami melihat proses menyangrai padi yang ada di sebelah kiri Balai Desa, ada sekitar 20 an tungku api yang di buat secara sederhana di dalam tanah dengan cara membuat lubang untuk kayu api. Kegiatan ini di dominasi oleh para ibu – ibu. Sama dengan kegiatan lainnya, kegiatan ini dilakukan secara bergantian selama 24 jam nonstop selama 3 hari. Padi yang direndam selama beberapa hari di aliran sungai  akan di angkat lalu di sangrai. Proses sangrai dilakukan sekitar 20 – 30 menit dan biasanya setiap 1 tungku akan di kerjakan oleh 1 – 2 orang. Lalu di dinginkan secara natural dan di tumbuk kembali.





             




                Secara lengkap kegiatan Nutuk Beham akan di mulai saat padi sudah panen, lalu puluhan karung yang sudah berisi padi akan di rendam di aliran sungai, lalu di sangrai (Mhantunyi), di tumbuk (Ngangkal), di tempi lalu di tumbuk lagi (Ncaroh). Malam harinya ada hiburan music dan tarian etnic dari Sanggar Seni lokal dan dari desa / kecamatan tetangga. Selain itu hujan turut membasahi sehingga kegiatan agak sedikit terganggu, namun kegiatan lainnya tetap berlanjut seperti biasa. Saya bersama rekan lain lebih memilih ngobrol sambil minum kopi di warung hingga acara hiburan selesai “secara paksa” karena hujan mulai turun deras tanpa kompromi. Nutuk Beham tahun ini dari segi panitia di kerjakan oleh anak muda dengan di bantu para tetua kampung, sehingga konsep tahun – tahun sebelumnya nampak berubah, beberapa acara ada yang hilang dan ada yang baru di hadirkan. Seperti Ngasak padi, di tiadakan. Hiburan music tradisional dan tari dihadirkan saat malam hari. Bagi saya pribadi ini kurang sreg, karena yang perlu ditekankan saat Nutuk Beham, khususnya malam hari adalah semua pengunjung / tamu berbaur langsung dengan kegiatan warga. Kalaupun ada hiburan music, saya lebih memilih hiburan yang tidak memerlukan banyak persiapan dan orang, seperti pentingan dari senar gambus dan penyanyinya langsung (solo). Hiburan yang membuat kegiatan tetap bisa berlangsung tanpa membuat para warga yang sedang menutuk beras, menyangrai padi, dsb tidak meninggalkan tempatnya. Dari segi pengunjung, seperti komunitas, menurun drastic tahun ini. Entah karena paket open trip yang di selenggarakan sendiri oleh panitia yang agak mahal dari biasanya, yakni 75 rb per orang, sudah termasuk homestay, makan dan kunjungan wisata selama acara berlangsung (Biasanya ada di angka 50 rb an / org), atau memang karena alasan lain.



Bagi saya ini perlu di sikapi dengan baik, supaya even berikutnya bisa kembali ramai di kunjungi. Dari segi dukungan pihak swasta juga tidak mengalami  perubahan berarti, salah satu perusahaan infonya hanya memberi bantuan sebesar 1 juta dan ada juga yang hanya memberi bantuan air mineral. Sedangkan desa mengalokasikan dana desa puluhan lebih banyak dari sumbangan perusahaan. Saya merasa miris dengan perhatian perusahaan yang masih SANGAT minim. Setidaknya perusahaan bisa membantu lebih besar, seperti menanggung biaya homestay, sehingga bisa menarik minat pengunjung untuk datang. Itupun masih tergolong kecil daripada biaya perbaikan akses jalan dari simpang merai menuju Desa Kedang Ipil sejauh 18 km, yang dari dulu dijanjikan hingga saat ini menguap seperti debu di jalan atau mengendap seperti tanah yang menjadi lumpur saat hujan.

Esok harinya, kami mengunjungi Air Terjun Kandua Raya dengan berjalan kaki sekitar 1 kiloan dari pos masuk. Kami memutuskan mengikuti paket yang diadakan panitia pelaksana, sehingga kami mendapatkan homestay, makan selama acara di balai dan gratis masuk lokasi objek wisata. Sepanjang jalan hutan desa masih asri dan menyejukan, dan jalan semen hanya awalnya saja, karena sisanya tanah becek dan berbatu, tidak banyak yang berubah dari tahun – tahun sebelumnya. Namun bagi saya ini gak masalah, karena masih bisa di lalui dengan berjalan kaki. Ibu saya yang sudah berumur 63 tahun masih sanggup berjalan menuju lokasi air terjun sambil saya jaga di samping, khawatir takut terpeleset karena jalan tanah berbatu yang licin. Kami menikmati suasana air terjun dengan mandi – mandi sekitar 1 jam lebih lalu kembali ke desa untuk melihat proses puncak acara Nutuk Beham, yakni saat beham di buat. Beham akan di campur dengan air panas, lalu di bentuk dan dipadatkan. Lalu di tambahkan bahan lainnya seperti parutan kelapa yang sudah di sangrai dan gula merah.









  
Beham akan di bacakan Tetua adat, semakin banyak hasil panen, maka pembaca mantra akan semakin banyak, tahun ini hanya 3 pembaca mantra yang komat kamit membaca mantra dengan bahasa Bemamang, bahasa yang tidak bisa saya mengerti karena sangat jauh berbeda dengan bahasa kutai pada umumnya (Tahun dulu ada 4 pembaca mantra). Karena hujan, acara sambutan pejabat pun di alihkan ke Balai Adat, sehingga prosesi sakral pembacaan mantra oleh Tetua Adat “tenggelam” dengan acara formal yang lebih hingar bingar. Menyanyikan lagu Indonesia raya, sambutan, hingga penampilan  tari, karena mereka ada di balai yang sama. Disatu sisi saya senang melihat talenta belia yang pandai menari namun disatu sisi juga saya merasa kita tidak menghargai prosesi ritual pembacaan mantra oleh Tetua adat yang sewajarnya kita dengarkan dengan sesama, walau tidak mengerti artinya. Beseprah (duduk makan bersama) pun kini sudah bercampur dengan menu ala prasmanan, tidak di hidangkan di lantai seperti dahulu.










Setelah acara selesai kami kembali ke homestay, saya merasa tahun ini banyak hal yang mulai berubah. Dentuman irama dangdut pun bergelora walau tidak ada yang bernyanyi, hanya irama yang dihasilkan dari keayboard. Acara adat ini mulai terusik dengan banyak hal, banyak nilai seni budaya yang mulai melenceng dari pakemnya. Secara pribadi, saya sangat menyayangkan hal diatas. Kembali ke homestay, kami Istirahat sebentar, sebelum ashar saya menunggu ketua panitia untuk membayar biaya open trip, lalu pamit kepada keluarga Kakek Safa yang ada di homestay. sempat tertunda karena ban bocor, akhirnya kami bisa pulang dan sampai dengan selamat. Alhamdulillah...



Semoga di even selanjutnya, Desa Kedang Ipil kembali berbenah untuk bisa menghadirkan acara sesuai tema yang di tengahkan.

Comments