Explore Muara Enggelam (Agustus 2020)

                Desa Muara Enggelam mulai hits saat mereka memenangkan lomba video dalam rangka Kemeriahan perayaan HUT RI tahun lalu, di bantu tim media tv, mereka berhasil masuk nominasi dan di undang ke Istana Negara bertemu dengan Presiden RI, Joko Widodo. Muara Enggelam ada di sisi Danau Melintang yang luasnya sekitar 11.000 Ha. Akses kesana hanya bisa di tempuh dengan transportasi air, sekitar 1 jam dari Muara Muntai via Sungai Rebaq Dinding. Dengan topografi yang rendah, kebanyakan warga membuat rumah rakit (terapung) dan panggung, namun harus menggunakan banyak kayu penyangga, karena harus tinggi dari permukaan daratan yang kerap terendam air. Saya berkesempatan untuk mendatangi desa Muara Enggelam, atas ajakan dari Pak Arian (Diskominfo Kukar) untuk membantu Explore & Expose potensi wisata. Sebelumya saya sudah berkoordinasi dengan Ketua Bumdes, Pak Ramsyah dan Pak Hery, selaku pemilik homestay, untuk memastikan segala sesuatunya sudah siap, baik dari transportasi jemputan dari Muara Muntai ke Muara Enggelam, Homestay dan makan. Setelah kunjungan kami di Penyinggahan, Kutai Barat, sekembalinya kami mampir terlebih dahulu ke Muara Enggelam sebelum kembali ke Tenggarong / Samarinda

Hari Pertama (8 Agustus 2020)

        Sekitar pukul 14.00 kami berangkat dari Penyinggahan (Kutai Barat) menuju Muara Muntai melalui sungai mahakam. Perjalanan lancar karena menggunakan ketinting yang berukuran besar dan juga mesin yang sesuai. Kurang dari 1 jam kami tiba di Rebaq Dinding, dan ganti perahu. Perahu jemputan lebih kecil dan juga mesinnya. Kami pindah ke perahu dengan mulai menyusun barang – barang di bagian depan, di tutupi terpal supaya tidak basah. Posisi duduk pun musti duduk tegak, gak ada sandaran kecuali di sisi samping perahu, saya yang di bagian belakang musti pake headset untuk mengurangi noise suara yang dihasilkan dari mesin perahu, yang “teriakannya” mungkin sudah melebihi batas aman dari noise maximum yang bisa di dengar manusia. Pelan – pelan kami mulai melaju dan berhati – hati saat berpapasan dengan perahu lain saat melintas di Sungai Rebaq Dinding yang sempit. Agak senang saat Danau Melintang mulai terlihat, namun hembusan angin yang berlawanan dengan arah perahu membuat percikan air membasahi sebagian dari sisi perahu, termasuk penumpangnya. Sekitar 30 menit perjalanan Gerbang desa Muara Enggelam mulai terlihat, gerbang ini lah yang tahun kemarin memenangkan nominasi lomba video Perayaan Kemerdekaan HUT RI. Total 37 menit yang kami tempuh dengan jarak 15 km. Kami tiba di Homestay terapung / rakit, yang di miliki oleh pak hery dan berencana akan menginap disana untuk 1 malam.



        Muara Enggelam kurang lebih sama dengan beberapa desa yang pernah saya datangi sebelumnya, mirip seperti Muara Ohong (Danau Jempang, Kutai Barat). Namun di Muara Enggelam ada jembatan kayu yang berguna untuk menghubungkan kampung di sebelah sungai. Desain jembatan kayu di muara enggelam bisa di angkat / turun saat level air pasang, sehingga transportasi air bisa  lewat. Sore hari kami meminjam motor pak hery untuk berkeliling desa dan tentunya survey spot sunset untuk santai dan ngopi. Sama seperti di Penyinggahan, Jantur atau Muara Muntai, di Muara Enggelam lagi ramai permainan Race Boat, semacam tamiya namun versi perahu. Konsepnya sama, pakai dynamo (untuk kelas standar pakai dynamo dari mesin blender rumahan) dan baterai besar (baterai yang biasa di pakai untuk rokok elektrik / vape). Arena air dengan lebar sekitar 1 meter lebih dengan panjang puluhan meter ukuran dibuat secara sederhana, kayak kolam ikan namun memanjang. Penggemarnya gak cuman anak kecil tapi lebih di dominasi sama yang dewasa sama bapak – bapak. Berhubung motor cuman 2, salah satu rekan musti jadi ojek untuk jemput 1 teman yang gak kebagian transport. Kami ke ujung kampung untuk santai & ngopi. Sayang view sunset nya terhalang beberapa rumah wallet yang ada di kejauhan.


        Malam harinya kami ada janji ketemu dengan Kepala Desa dan pengurus Karang Taruna untuk sharing santai tentang konsep wisata desa. Lokasinya di sisi jembatan, karena di balai terbuka, penerangannya lagi bermasalah. Turut hadir Pak Hery dan pak RT. Sedikit feedback yang kami terima, lebih cenderung dari Kepala Desa, Pak Hery dan pak RT, teman – teman dari Karang Taruna nampak hanya menjadi pendengar, tidak terlalu bersemangat untuk ber interaksi. Saya tidak tahu alasannya kenapa, tapi diskusi cukup berjalan lancar hingga pukul 10 malam. Sebelum kembali ke rakit, kami di ajak makan malam oleh pak hery, menunya ada banyak, khas melayu. Mulai dari sop sayur Keladi, ikan goreng, ikan bakar, ikan asin, telur ikan, oseng – oseng tempe hingga Lombok pedas. Teman – teman makan lahap sampai kenyang. Oh ya, buat kamu yang nanti berkunjung ke Muara Enggelam, jangan lupa mampir di warung istri pak hery, dekat jembatan, all you can eat cuman 40.000. Kembali ke rakit, kami gak langsung tidur, tapi ngobrol lagi, ngopi lagi, sambil di temani pak RT. Apalagi pak RT sedang berulang tahun, kami rayakan dengan gegap gempita. Kembang api di tembakan ke angkasa, lampu dugem tiba – tiba muncul di rakit, musik rhoma irama versi EDM mulai mengumandang, rakit bergoyang – goyang karena hentakan kaki pak RT. Angkat gelas kopi mu kawan… bersulang…. (Note : Kemeriahan hanya rekayasa, maunya gitu, tapi gak bisa). Satu persatu mulai undur diri, tidur lelap, sambil ditemani musik orchestra versi burung walet dan di goyang ombak kecil yang disebabkan ketinting yang lewat.


Hari ke 2 (9 Agustus 2020)

        Pagi – pagi, pagi sekali, teriakan melengking yang terkontrol dari seorang sosok mama muda terdengar “merdu”, cukup mengalahkan fungsi suara alarm dari HP kami, semua terbangun satu persatu. Ini yang sedang di tunggu – tunggu, penjual nasi kuning dan  kue tradisional yang rumornya setiap pagi berjualan keliling kampung dengan menggunakan perahu. Gak pake mesin, cukup di dayung manual. Ritual harian ini lah yang membuat “pitch” lengkingan suara ibu ini tetap terkontrol walau dia sedang bergerak sambil mendayung. “Alliooooooo nasi kuniiiiiing….” dan di sambung dengan beberapa nama dari jenis kue yang dia jual saat itu, kala itu setidaknya ada 5 jenis makanan yang di jual, sedikit bah. Setelah di investigasi sama raja gibah, zakir, infonya si chef lagi gak enak badan, jadi gak mood untuk buat macam – macam kue. Jadi, ya itulah, seadanya. Syukur – syukur ada, kalo gak, gak bakalan dapat content. Saya hampir unfollow dari akun IG ibu itu, tapi setelah di ajak ngobrol, asik cuy, humoris. Tapi dari logat kok kayak bukan orang kutai, ternyata ibu ini berasal dari Sulawesi, salah satu kerabatnya berkeluarga sama orang muara enggelam. Now we Understand... Walhasil, kami beli beberapa Yellow Riced with fried snakehead fish, donat lengkap dengan topingnya (butiran ceres dan perasa kekinian), nasi ketan bungkus daun plus sambal kacang & pisang molen.


Cuaca yang mendung nan cenderung gerimis manjah membuat kami gak bisa kemana – mana, kami habiskan waktu ngobrol, ngopi sambil buat konten di homestay terapung aja. Sekitar jam setengah 11, cuaca sudah agak mendingan, kami mencoba keluar kampung menuju Danau Melintang dengan meminjam perahu dari keluarga ibu yang menjual kue tadi pagi, mencoba mengambil konten yang dirasa cocok. Pertama – tama ada Pohon Setia Raja, sebuah pohon rengas yang ada di bagian sisi kiri Danau Melintang dari arah kampung.






Ceritanya dahulu, masih di jaman Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, di masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sultan ingin membuat sebuah masjid dan mengutus beberapa utusan untuk mencari kayu dari pohon terbaik untuk menjadi pilar masjid, singkat cerita utusan sampai di Muara Enggelam yang kemungkinan besar dulu posisinya ada di tengah danau, hal ini di buktikan dengan ditemukannya banyak pecah belah saat level air mahakam sedang surut serta beberapa pondasi rumah panggung yang sudah mulai lapuk di makan usia dan cuaca. Kedatangan utusan Sultan tersebut disambut oleh sesepuh desa dan akhirnya gayung bersambut, banyak jenis pohon yang di maksud bisa di dapat disekitar Desa Muara Enggelam, di potong dan diserahkan kepada utusan tersebut. Saat utusan hendak kembali, sesepuh desa ingin meminta cinderamata dari pihak Kesultanan sebagai bukti atas pengabdian yang sudah mereka lakukan kepada Sultan karena sudah membantu mencari batang kayu. Utusan berjanji akan menyampaikan kepada Sultan atas permintaan tersebut. Setelah tibanya di Tenggarong dengan sejumlah batang kayu, utusan menyampaikan permintaan sesepuh Desa Muara Enggelam kepada Sultan, dan Sultan menyanggupi permintaan itu dengan menyerahkan tongkat kepada utusan untuk diserahkan kembali kepada sesepuh desa Muara Enggela. Utusan kembali ke Muara Enggelam dan menyerahkan tongkat tersebut. Sesepuh lalu menancapkan tongkat pemberian Sultan tersebut ke tanah sebagai bukti apresiasi dari Sultan kepada warga muara enggelam yang sudah membantu mencari batang kayu. Konon, tongkat pemberian sultan ini lah yang di percaya warga menjelma menjadi sebuah pohon rengas besar yang kini masih kokoh berdiri, dan tidak pernah tenggelam walau saat musim banjir besar melanda. Dan batang pohon yang diserahkan ke Sultan, saat ini masih kokoh berdiri sebagai pilar utama di Masjid Jami Aji Amir Hasanuddin, Tenggarong. Wallahualam

Dari pohon Setia Raja kami beralih ke tower lampu yang ada di sisi kanan, lalu kembali ke kampung. Namun ada masalah, mesin ketinting kami mengalami masalah, seorang warga yang lewat menghampiri kami dan membantu memperbaiki mesin ces. Tali gas mesin harus di poll terus, gak boleh kendor, karena ini masalah umum dari mesin yang sudah di modifikasi. Mesin ces ini awalnya adalah bantuan dari pemerintah, sumber tenaganya bukan dari bensin melainkan gas dari Tabung 3 kg.  So, beberapa kali mesin mati, masih bisa dipaksa hingga sampai di kampung. Di kampung kami mampir di salah satu rakit agen ikan asin, melihat proses pembuatan ikan asin. Rata – rata dikerjakan para ibu – ibu dan di bantu anak – anaknya yang kira – kira masih usia anak SD / SLTA. Nelayan – nelayan lokal akan menjual ikan kepada agen setiap harinya, agen memproses ikan segar tersebut menjadi ikan asin dan di jual. Gak hanya ke kota – kota namun juga luar kabupaten dan pulau. Supaya mesin gak kerja keras sebagian pulang dengan berjalan kaki, lumayan sambil menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan. 













Sesampainya di rakit kami mulai mandi kembang 7 rupa, berkemas – kemas, sambil penuh harap di panggil untuk makan siang sebelum ketinting menjemput. Sayang, mungkin lupa atau gimana, gak ada panggilan yang merdu itu terdengar, kami mulai senyum – senyum sendiri, mungkin kami dianggap terlalu baik. Ok lah, kami tetap ke atas pamit dan alih – alih kelaparan, kami beli pentol buatan ibu, de bes memang. Mungkin panggilan yang kami inginkan memang belum saatnya di keluarkan, supaya pentol ini bisa kami testi penuh senyum dan saling pandang satu sama lain. Entahlah, yang penting kami bisa ganjal perut, pamit dan balik arah. Ketinting yang sama membawa kami ke Oloy, dimana mobil sewaan kami parkir selama 3 malam, biaya parkir seikhlasnya, lalu kami memulai perjalanan kembali dengan penuh cerita seru yang mengharu biru. Semoga nanti kami bisa jalan – jalan lagi, lokasi baru, pengalaman baru dan bantu – bantu promosi wisata desa dengan post kami di medsos. Insyaallah, Aammiin

Terima kasih Pak Arian, Pak Ramsyah, Pak Heri & Istri beserta keluarga, Pak RT dan masyarakat Muara Enggelam

Untuk dukungan moral dan semangat, bisa dong like dan subscribenya di akun saya & Mahakam Explore di Youtube. 



 

Comments